Jumat, 29 Oktober 2010

Korban Tsunami Mentawai Capai 394 Jiwa, 312 Hilang








Jakarta
- Korban tsunami di Kepulauan Mentawai terus bertambah. Data yang diperoleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) korban tewas mencapai 394 jiwa.

"Hingga pukul 11.00 WIB korban meninggal 394 orang, hilang 312 orang," kata petugas BPBD, Heri kepada detikcom, Kamis (28/10/2010) malam.

Heri mengatakan, sebagian dari korban tewas telah dievakuasi. Sementara sebagian lainnya sudah dimakamkan.

"Data itu dari 4 kecamatan dan 18 desa," jelasnya.

Heri menambahkan, proses evakuasi mengalami hambatan di lapangan. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti transportasi dan logistik.

"Yang paling penting itu keterbatasan perahu dan sulitnya lokasi korban. Untuk yang paling dekat saja butuh waktu 1 jam paling jauh 4 jam," imbuh Heri.

Selain itu, komunikasi di Kepulauan Mentawai juga tidak berjalan dengan baik. Hanya pada waktu tertentu komunikasi lancar dan tidak terputus.

"Di sini hanya simpati yang bisa komunikasi. Itu juga putus-putus," tambahnya.

Gempa 7,2 SR mengguncang Kepulauan Mentawai, Senin (25/10) kemarin. Tsunami menyapu 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Sikakap, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora Selatan, dilaporkan hilang. Gempa di Mentawai terjadi pukul 21.40 WIB. BMKB mencabut peringatan tsunami sejam kemudian. Esok siangnya baru ketahuan telah terjadi tsunami setinggi 3-7 meter di Kepulauan Mentawai.

Aktivitas Gunung Anak Krakatau Terus Meningkat

http://image.tempointeraktif.com/?id=30913&width=490

TEMPO Interaktif, Serang – Aktivitas Gunung Anak Krakatau di Perairan Selat Sunda yang memisahkan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera hingga saat ini terus meningkat. Suara dentuman anak Gunung Krakatau ini bahkan terdengar hingga pesisir Pantai Anyer dan Pantai Cinangka, Kabupaten Serang. Tak hanya itu, anak Gunung Krakatau ini juga sering mengeluarkan asap yang membumpung hingga ketinggian 600–1500 meter.

Menurut Petugas Pemantau Gunung Anak Krakatau, Anton Pambudi peningkatan aktivitas gunung anak Krakatau ini memang meningkat sejak sepekan terahir. “Statusnya waspada,” kata Anton, Jum’at (29/10).

Dalam catatan petugas pemantau, dalam sehari gunung ini tercatat sempat mengeluarkan 117 kali letusan.

Kata Anton, saat ini terdapat kawah baru di sebelah Barat Daya gunung anak Krakatau “Kawah tersebut muncul disebelah kawah lama yang meletus pada Oktober 2008 lalu” katanya.

Salah seorang petugas di Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau di Cinangka, Kabupaten Serang, Sikin, mengatakan, suara letusan juga disertai hembusan 56 kali, tremor atau gerakan 102 kali, dan sinar api terlihat dua kali dengan warna putih kelabu menggumpal, vulkanik dangkal 61, serta vulkanik dalam 12. “Ketinggian luapan gumpalan asap mencapai 400 hingga 700 meter” ujar Sikin.

Data di Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau yang terletak di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupatem Serang, selama Juli 2010 lalu mencatat telah terjadi aktifitas dari Gunung Anak Krakatau sebanyak 4.228 kali.

Aktivitas gunung itu yakni 717 kali gempa vulkanik dangkal (VA), 2.269 gempa vulkanik dalam (VB), 1 kali gempa tremor, 43 kali, dan 1.181 hembusan. Bahkan Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau ini juga mencatat adanya gempa tektonik disekitar Perairan Selat Sunda yang mencapai 17 kali.

Detik-detik Letusan Merapi

Gunung Merapi. REUTERS/Beawiharta

TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta merilis kronologi letusan Gunung Merapi yang terjadi Selasa (26/10/2010). BPPTK mencatat sejak pukul 17.02, gunung Merapi mulai mengeluarkan awan panas. Arah luncuran awan panas ke sektor barat-barat daya dan sektor selatan tenggara.

Terjadinya luncuran awan panas beberapa kali terekam pada menit-menit berikutnya
dengan durasi waktu antara 2 menit hingga paling lama terjadi selama 33 menit. Pada pukul 18.54 aktifitas awan panas mereda.

"Indikasinya sudah sangat jelas, Merapi menepati janjinya, itulah sebabnya saya meminta petugas di pos pengamatan untuk mundur. Kami sampaikan informasi ke Satlak Penanggulangan Bencana masing-masing kabupaten segera membunyikan sirine tanda bahaya," kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi, Kementerian Sumber Daya Mineral di Kantor BPPTK, Selasa (26/10).

Pemantauan secara visual melalui kamera CCTV yang terpasang di bukit Plawangan Kaliurang, tidak bisa dilakukan karena cuaca buruk dan terhalang kabut tebal. Kondisi malam hari yang gelap gulita itu membuat pengamatan tak bisa optimal dilakukan dengan bantuan kamera pemantau. Energi letusan Merapi kali ini cukup besar jika dibandingkan dengan kejadian serupa di tahun sebelumnya seperti tahun 2006 lalu.

Petugas di pos pengamatan melaporkan mendengar ada suara gemuruh pada pukul 18.45 dari Pos Jrakah dan Pos Selo dan terjadi suara dentuman tiga kali. Bahkan dilaporkan dari pos pengamatan Selo terlihat nyala api bersama kolom asap membubung ke atas setinggi 1,5 kilometer dari puncak.

”Masa krisis Merapi masih belum lewat, kami terus melakukan pemantauan dari alat seismik masih bisa memantau,” kata dia.

Mengenai penyelamatan warga yang diperkirakan terjebak saat terjadi luncuran awan panas, secara pribadi Surono merasa sedih bahkan dirinya sempat menangis karena sudah memberikan peringatan sebelumnya.

"BPPTK sudah merekomendasikan daerah mana saja yang aman, bukan polisi yang harus mengawasi. Masa krisis belum lewat, radius awan panas belum terpantau karena cuaca tak memungkinkan pemantauan visual,” kata dia.

Selasa, 26 Oktober 2010

Info Banjir di Jakarta Terbaru

Info Banjir di Jakarta Terbaru - Hujan deras yang mengguyur Ibu kota sejak sore hari hingga malam hari, Senin 25 Oktober 2010, menyebabkan banjir terjadi di hampir semua wilayah Jakarta. Info Banjir di Jakarta Terbaru mengatakan bahwa beberapa warga di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terpaksa harus mengungsi di sebuah masjid. Hal ini dialami oleh warga satu RW di Rawa Barat yang harus mengungsi di masjid Nurul Iman.

Banjir yang mulai menggenangi daerah tersebut mulai naik hingga setinggi satu meter sejak pukul 19.00 WIB. Salah seorang warga mengakui bahwa banjir seperti ini memang kerap kali dirasakan warga di wilayah ini. Dadang, 62 tahun, mengatakan, "Saya sekeluarga mengungsi di masjid sampai banjir telah surut."

Meskipun telah mengungsi, namun beberapa warga masih ada yang was-was dengan keamanan rumah mereka yang ditinggalkan. Banyak tangan-tangan usil yang tidak akan tinggal diam mengambil kesempatan di dalam kesempitan seperti ini. Untuk mengantisipasinya, beberapa pemuda berinisiatif untuk mengamankan daerah mereka dengan cara melakukan ronda malam dan sesekali mamantau Info banjir di Jakarta terbaru yang beredar.

Selain itu, akibat banjir yang menggenangi kecamatan Kebayoran, maka jalan dari arah Blok S menuju Jalan Kapt. Tandean pun mengalami kemacetan yang sangat panjang.

Macet dan cuaca ekstrim
Hujan lebat akibat cuaca ekstrim membuat Jakarta terancam kemacetan parah, selain potensi tenggelamnya sejumlah kawasan di Ibukota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga kini belum memperoleh solusi jitu menangani masalah tersebut.

Padahal, survei dan penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpulkan sedikitnya 60 titik di Jakarta, khususnya Jakarta Utara, rawan amblas akibat penurunan tanah mencapai 116 sentimeter (1,6 meter) selama delapan tahun.

Pada 2050 diperkirakan empat kecamatan di Jakarta Utara akan tenggelam. Hal ini akan terjadi jika pemerintah tidak mengantisipasi pembangunan di ibukota.

Salah penyebabnya pemerintah dinilai tidak tegas dalam pembatasan pembangunan dan pengambilan air tanah pada sejumlah daerah di Ibukota yang dekat laut. Akibatnya, jika hujan mengguyur sebentar saja, maka wilayah di Jakarta terlanda banjir. Kanal Banjir Timur (KBT) tampaknya tak mampu mengatasi bencana tahunan yang kerap melanda Jakarta ini.

Cuaca ekstrim akan memperparah kondisi ancaman itu karena sebagian kawasan Jakarta akan kerap diguyur hujan lebat, dengan angin kencang, dan kilatan petir. Kepala SubBidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrim BMKG, Kukuh Ribudiyanto, mengatakan kondisi ini akan terjadi hingga memasuki musim hujan, sekitar akhir November.

"Ini siklusi transisi, akan terjadi hujan lokal, siang menjelang malam hari. Hujan deras bisa turun dua hingga tiga jam. Potensi angin kencang dan puting beliung tentu ada," ujar Kukuh.

Terkait semua peristiwa alam yang terjadi ini, Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) telah menginformasikan kepada Pemerintah DKI Jakarta agar siaga, dan siap mengatasi cuaca ekstrim sejak jauh hari.

Banjir Jakarta Kian Parah, Foke Dianggap tak Punya Terobosan

Macet dan banjir di sekitar Mampang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Banjir menggenangi jalan-jalan di Jakarta semalam, menyebabkan kemacetan luar biasa. Jakarta ternyata tidak mengalami kemajuan selama empat tahun terakhir.

"Jakarta memprihatinkan, Jakarta tidak bergerak empat tahun terakhir," ujar Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, ketika ditanyai tentang banjir semalam, di Jakarta Selasa (26/10).

Menurut Azyumardi, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo alias Foke, saat ini tidak berani mengambil terobosan. Fauzi dinilai terlalu legalistik (berpaku pada aturan) dalam menyelesaikan persoalan Jakarta.

"Ikut aturan boleh saja tapi tetap harus mengambil terobosan," kata Azyumardi. Pada kepemimpinan sebelumnya, banyak terobosan yang diambil. Meskipun awalnya dinilai kontroversial, seperti pemagaran Monas dan busway. Tetapi pada akhirnya semua menikmati manfaatnya.

Namun, dengan kepemimpinan DKI Jakarta saat ini, belum ada langkah yang berani untuk menangani masalah banjir dan kemacetan. Slogan yang diusung pada saat mencalonkan diri, 'Serahkan Jakarta Pada Ahlinya', ternyata belum menampakkan hasil. "Tidak terbukti, kita masih menunggu," kata Azyumardi.

Jika hanya selalu mengikuti kerangka hukum saja, tanpa terobosan, Jakarta akan tetap seperti ini. Bahkan pada tahun-tahun mendatang fasilitas umum akan semakin banyak yang kualitasnya menurun. Sebab harus menunggu proses birokrasi untuk bisa memperbaikinya. "Kalau fasilitas rusak nanti kualitas manusianya juga rusak. Jadi cepat marah," Azyumardi mengingatkan.

Senin, 25 Oktober 2010

Anak Jalanan dalam Masalah Sosial

Anak jalanan sering kali menjadi sorotan oleh para peneliti masalah sosial, khususnya di kota kota besar seperti jakarta, bandung, medan, semarang, yogyakarta, serta surabaya. pemerintah sendiri belum bisa mengatasi masalah sosial tentang anak-anak jalanan ini. Menurut Kepala Seksi Pelayanan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta, Ani Suryani mengakui, menyelesaikan persoalan anak jalanan memang bukan pekerjaan mudah. Pola pikir para orangtua dari kalangan ekonomi bawah ini masih menempatkan anak sebagai salah satu pencari nafkah.
“Kami berikan modal usaha, habis. Misalnya, mau usaha gorengan, dikasih kompor, dan lain-lain, malah dijual. Katanya untuk makan. Mereka maunya yang instan. Mindset ini yang susah diubah. Kami perlu waktu,” kata Ani kepada Kompas.com, di sela-sela pendataan dan identifikasi anak jalanan, di perempatan Coca-cola, Jakarta Utara, Kamis (21/1/2010).

Pembinaan kepada para orangtua, ternyata juga belum membuahkan hasil. “Pelatihan, pembinaan, dianggap buang-buang waktu. Kadang, anak yang kami bina, dijemput orangtuanya. Katanya daripada gini, mending cari duit. Susah memang,” kata Ani lagi.

Lalu apa solusinya? Salah satu yang sudah berjalan, menurut Ani, mengoptimalkan peran Rumah Singgah. Di DKI terdapat 37 titik rumah singgah. “Tapi ya itu, orangtua tidak suka, anaknya baru sebentar sudah ditarik, dieksploitasi untuk cari uang,” ujar Ani Suryani.

Para penyuluh Dari Rumah Dhuafa menemukan beberapa hal dalam kejiwaan anak anak jalanan ini yang berbeda dari anak pada umumnya terutama mengenani mindset hidup mereka cendrung ga punya tujuan hidup yang jelas dan maunya sesuatu yang bersifat instan. inilah program rumah dhuafa dalam bidang pembinaan anak anak jalanan

Senandung Lirih Anak Jalanan / Voice of Street Children

oo kamu ketahuan pacaran lagi dengan si dia......
oo................................................. dan yg anak² kecil dengan suara memelas: mas om beri sedekah sedikit saja untuk saya.

si senandung suaranya begitu keras dan tanpa beban. dan sang anak kecil² yg meminta minta begitu lusuh dan letih
sejenak aq pandang wajah lusuh mereka dan kondisi pakaian yg alakadarnya,namun sesekali mereka tersenyum lepas sesama teman tanpa keterpaksaan di raut wajah mereka.
aw begitu lapang dada mereka walau harus mencari uang di jalanan di tengah jalan lampu trotoar hmmmfff.
adakah kita menyadari dari mereka ada yg statusnya masih sekolah dan ada yg tidak sekolah sama sekali namun karena keadaan dan atau karena pergaulan atau karena PAKSAAN ORANG TUA !! atau MUCIKARI!!!! (MAKELAR MAFIA ORANG² TERBUANG) atau juga karena kebiasaan teman sekitar jadi mereka terseret akan lingkup jalanan.
HALAL!!! hasil jerih payah dan keringat yg mereka dapat itu yg patut kita acungi jempol.
pernah juga mereka harus kejar kejaran dengan pihak.....*@#$!%$@#$!#*&*&@#.............''!!!! sampai ada yg hampir tertabrak kendaraan hmmfffffff KETERLALUAN ,begitu merananya sampai sampai di kejar kejar seperti layaknya PENCURI !!!,padahal dari hasil bersenandung di jalanan mereka paling mengantongi rupiah sekitar 15rb atau 20rb saja alangkah malangnya.
kalau memang pihak........!@!@#!^%&^*^@!@#^&........... punya INISIATIF dan IDE yg JEMPOLAN !!! kalau mereka melarang para penyanyi senandung lirih lampu trotoar atau anak² kecil ini untuk mencari uang dijalanan beri mereka lowongan pekerjaan yg mereka bisa dan gaji yg lumayan atau beri wejangan pada ORANG TUA mereka agar tiada lagi kata anak jalanan,jangan asal main KEJAR TANGKAP dan BAWA lihat kondisi BOS ia kalian udah banyak gaji atau banyak koneksi sedang mereka hanya bisa MENCARI dan MEMINTA dan bernyanyi. HARUSNYA KITA MEMBUAT HUKUM YG MELARANG ANAK DI BAWAH UMUR UNTUK BEKERJA DAN BERI HUKUMAN PADA ORANG TUA MEREKA YG MENYURUH ANAKNYA YG MASIH KECIL UNTUK BEKERJA. ORANG TUA MACAM APA ITU GILA DAN STREZZ JUGA KOPLO PERGI AJA KE NERAKA KALAU ADA ORANG TUA PUNYA SIFAT BEGITU.
KALAU MEMANG NEGAR INI MEMBERLAKUKAN HUKUM PASAL ANAK DIBAWAH UMUR DILARANG BEKERJA PASTI MASALAH TENTANG ANAK JALANAN TERSELESAIKAN

Mensos: Anak Jalanan Adalah Anak Kita Juga

Terkait dengan kasus penampungan anak jalanan ilegal yang mengganggu masyarakat di lingkungan Citayam Depok, Menteri Sosial Republik Indonesia Salim Segaf Al Jufri meminta kepada semua masyarakat jika menemukan kasus tersebut bisa melaporkan kepada yang berwajib.

“Kalau mau menampung dalam skala besar harus dinaungi oleh yayasan, dan kalau ilegal, masyarakat wajib untuk melapor kepada yang berwajib,”terangnya saat ditemui di Yayasan Bina Insani Mandiri Jumat (19/3).

Hal ini dilakukan guna tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.“Sebab anak-anak yang berada di jalanan mereka semuanya adalah anak-anak kita juga, mereka semua wajib kita jaga,” tegasnya

Pak Menteri mencontohkan, sebuah penampungan yang baik itu layaknya seperti yang berada di Bambu Apus Jakarta Timur.” Saya pingin untuk wartawan datang ke Bambu Apus. Semua yang berkaitan dengan masalah anak-anak ada disana penanganannya,

Kepedulian Terhadap Anak Jalanan

Menjadi anak jalanan bukanlah sebuah pilihan hidup mereka, melainkan sebuah tuntutan hidup. Keberadaan anak jalanan di setiap persimpangan jalan, stasiun, terminal adalah fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan gambaran kemiskinan bangsa kita. Penanganan anak jalanan harus dilakukan secara profesional. Jika tidak, akan berpotensi “lost generation”.

Berdasarkan amanah UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa tanggung jawab dan wewenang kesejahteraan sosial ada di tangan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Termasuk didalamnya terhadap penanganan anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) antara lain anak jalanan. Untuk itu, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Pemkot Depok bekerja sama dengan SatPol PP mengadakan penjangkauan anak jalanan di stasiun Depok.

Menurut Tinte Rosmiati Kabid Sosial Disnakersos Pemkot Depok, penjangkauan tersebut sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah terhadap keberadaan anak jalanan, yaitu dengan mencari informasi secara detil penyebab dan akar permasalahan mereka menjadi anak jalanan.

”Pemerintah harus dan wajib intervensi terhadap permasalahan anak jalanan, dan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Sosial, bahwa di tahun 2011 ada gerakan penarikan anak jalanan secara nasional atau dengan kata lain sudah tidak ada lagi anak jalanan yang turun ke jalan” ungkap Tinte.

Dari hasil penjangkauan tersebut dijaring 17 anak jalanan, dengan usia rata-rata 13-15 tahun. 11 anak berdomisili di Kota Depok. Saat ini pihak dinas sudah mengembalikan kepada orang tuanya untuk dibina kembali. Kewajiban Dinas adalah melakukan ”visit home” secara berkelanjutan. Sedangkan 6 anak berasal dari Kota Bogor, secara prosedur pihak dinas sosial Depok akan melakukan pengembalian kepada orang tua masing-masing melalui dinas terkait, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor.

Lebih lanjut, pemerintah saat ini telah menggelontorkan program yang diberi nama ”Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)”, dan Kota Depok dijadikan sebagai pilot proyek untuk wilayah sejabodetabek. Dalam program tersebut Disnakersos Depok bekerja sama dengan mitra kerja Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) yang lebih dikenal sebagai kelompok ”Mester (Mesjid Terminal)”.

Melalui PKSA, anak jalanan sebanyak 91 anak yang ditampung Yabim mendapatkan pendidikan dan pelayanan kebutuhan dasar bagi anak jalanan. Dana yang digelontorkan sebesar Rp. 5 ribu/anak/hari selama 1 tahun, berasal dari APBN.

Pada akhirnya, Tinte menilai persoalan anak jalanan, bukan saja menjadi tanggung jawab dinasnya saja, melainkan seluruh elemen masyarakat harus saling peduli dan memiliki empati terhadap persoalan anak jalanan, untuk bersama-sama melakukan gerakan yang nyata terhadap anak-anak tersebut. Karena, anak-anak itu juga merupakan anak-anak bangsa yang wajib diselamatkan, demi masa depan generasi bangsa.

Anak Jalanan tak Dapat Pendidikan Gratis

Pendidikan merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana dengan anak-anak jalanan? Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Rahmad Sazaly dengan Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang.

Apakah ada pendidikan gratis khusus untuk anak jalanan di Sumut?
Pendidikan gratis tentunya telah lama digembar-gemborkan pemerintah, namun sampai saat ini yang saya ketahui belum ada, dan itu memang perlu digagas.

Program pendidikan seperti apa seharusnya yang diajarkan di sana?
Seandainya ada, program pendidikan yang diberikan kepada mereka yakni pendidikan-pendidikan praktis, seperti setiap anak selalu masuk kelas dalam kondisi bersih. Harus saling menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Dimana ini merupakan pendidikan perilaku. Jika setiap hari selama sembilan tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah.

Apakah pendidikan teori tidak perlu bagi anak jalanan seperti layaknya pendidikan dasar 9 tahun?
Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan. Namun, teori seperti mata pelajaran matematika tetap saja harus diajarkan.

Bisa Anda contohkan satu pendidikan gratis bagi anak jalanan?
Ada pendidikan gratis bagi anak jalanan yang digagas di Jakarta. Di sana telah memiliki empat program yang sudah dijalankan. Seperti bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Apa manfaat program-program trersebut?
Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, ada tim yang harus menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual. Lain lagi dengan program bimbingan ibu dan anak negeri. Program ada setelah realitas di lapangan yang terekam keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan. Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Dengan pendidikan ini harapannya tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan.

Bagaimana jika ada bakat yang baik dari dalam diri mereka?
Di sana, di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Dan hasil dari pendidikan ini dapat dilihat dari jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tak lulus, dan jika tidak, berarti mereka berhasil.

Selama ini banyak program yang telah direncanakan pemerintah dan menganggarkan dana yang tidak sedikit untuk anak jalanan. Tapi hingga saat ini masih belum ada satu program yang terlihat mumpuni. Menurut Anda kenapa itu terjadi?

Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat. Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri. Kita berharap pemerintah bisa lebih serius dan memperdalam program-program pendidikan yang dikhususkan bagi anak jalanan. Dengan begitu tak ada yang tersia-siakan dari setiap calon-calon penerus bangsa ini.

Sanggar Anak Matahari, Wadah Anak Jalanan

Seperti sekolah formal pada umumnya, sanggar Anak Matahari menjadikan kegiatan seni sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Selain mengamen, sekarang anak binaan sanggar ini sudah mulai belajar seni akting teater, membaca menulis puisi, dan kegiatan positif lainnya.

Sanggar Anak Matahari yang kini bertempat di Kp. Pintu Air Rt.04/Rw.07 Kel. Harapan Mulya, Kec. Medan Satria, kota Bekasi, berdiri sekitar 10 tahun lalu. Berawal dari rasa keprihatinan melihat anak jalanan yang belum bisa baca dan tulis, timbul keinginan untuk melakukan suatu perubahan. Anak binaan yang tadinya hanya segelintir saja, sekarang bertambah seiring berjalannya waktu. Hingga saat ini jumlah anak binaan sanggar Anak Matahari sudah mencapai 150 anak.

Anak Jalanan Islam adalah nama awal dari sanggar ini. Nama sanggar berubah menjadi Anak matahari sejak adanya usulan dari seseorang yang ingin membuat film tentang seorang aktivis yang membawa perubahan terhadap anak jalanan. Walaupun film ini tidak jadi dibuat, pihak sanggar sempat membuat trailernya. Perubahan nama ini juga seiring dengan penambahan anak binaan yang sekarang tidak hanya berasal dari anak jalanan saja, tetapi juga dari anak sekitar lingkungan sanggar.

Menurut Nadia salah satu pengurus sanggar, konsep dasar dari sanggar ini sendiri lebih kepada pendidikan formal sekolah dan pengembangan akhlak. “Kita tidak pernah memaksa mereka, hanya memberi arahan kalau hidup itu pilihan. Kalian mau tetap di jalanan dengan hidup yang seperti itu, atau mau seperti orang lain yang bisa memiliki sesuatu. Kalau kalian mau sesuatu maka kalian harus berusaha,” ujar Nadia. Ia juga menambahkan, tadinya anak binaan sanggar Anak Matahari mengambil sekolah paket. Namun, sekarang sebagian besar masuk sekolah formal. Walaupun ada beberapa kendala pada awalnya, tapi mereka bisa mengatasinya secara perlahan.

Seperti sekolah formal pada umumnya, sanggar Anak Matahari menjadikan kegiatan seni sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Selain mengamen, sekarang anak binaan sudah mulai belajar seni akting teater, membaca bahkan menulis puisi, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya. Satu hal yang membedakan komunitas ini dengan komunitas lainnya adalah sanggar Anak Matahari sudah sering mengikuti perlombaan. Tak jarang juga anak sanggar mendapat beasiswa, ada yang dari Dinas Sosial, Lembaga Amal Zakat, dan lainnya. Selain itu, Anak-anak binaan di sanggar ini sudah pernah rekaman lagu-lagu nasyid dalam bentuk CD.

Untuk masa mendatang, pengurus berharap anak-anak di sanggar kelak dapat membimbing anak lainnya, minimal satu anak sanggar dapat membimbing 10 anak jalanan atau dari komunitas lain supaya terpacu untuk bersekolah. Pengurus juga berharap ada relawan yang mau membantu mengajar di sanggar dari Senin-Jumat, karena untuk saat ini mereka masih kekurangan pengajar. Satu rencana yang sangat diinginkan adalah membuat antologi tentang anak jalanan, yang membedakannya mereka menginginkan antologi tersebut ditulis sendiri oleh anak-anak. “Kan belum ada tuh buku tentang anak jalanan tapi ditulis sendiri sama anak jalanan,

Tangisan Anak Jalanan

Tentang Anak Jalanan…!!!

Saya Membuat Artikel Ini supaya orang orang yang mampu bisa sadar dan membantu mereka orang miskin seperti: fakir miskin, yatim piatu, anak jalanan, pengamen dll tentang orang yang tiada daya upaya untuk hidup…..Pernahkan terlintas di pikiran Anda, Lebih hebat manakah kita dengan anak jalanan / pengamen? Apakah kita yang lebih hebat? Bagi Anda yang menjawab demikian Anda SALAH BESAR …tahukah apa yang membuat comment kita tersebut salah?.



Mungkin bila kita melihat orang jalanan / pengamen yang selalu yang ada di benak kita adalah anak kita yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar, tapi ada suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan /pengamen mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki. Apa keistimewaannya? Tiap hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan hanya untuk 1 tujuan yaitu mencari uang untuk hidup 1 hari. walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari selanjutnya. Namun bagaimana dengan kita? Kita tidak tiap hari merasakan kekejaman dunia, hanya pada waktu tertentu saja namun lebih parahnya kita selalu gampang berputus asa bila mengalami kegagalan dan yang lebih parahnya lagi kita tidak pernah mensyukuri apa yang kita punyai saat ini. Sekarang lebih hebat manakah ?kita atau anak jalanan?

Anak jalanan pada umumnya adalah kaum muda yang sebenarnya adalah aset negara yang berharga. Sebagai modal kekuatan bangsa kaum muda ini harus disiapkan sedini mungkin dan ini menjadi tugas orang dewasa. Penyiapan-penyiapan yang terpenting adalah usaha agar mereka bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Di sinilah terlihat adanya perbedaan yang jelas antara penyiapan masa muda dengan masa dewasa. Pada hakikatnya masyarakat telah menempatkan anak-anak sepenuhnya di bawah kontrol orang tua. Para orang tuapun memiliki kekhawatiran jika masa transisi anak-anak mereka menjadi masa yang kritis sehingga berakibat kurang baik. Kekhawatiran itulah yang kini tidak hanya sebagai sebuah ketakutan tetapi sudah menjadi bukti dalam kehidupan masyarakat ketika ini dan di antaranya adalah kehidupan anak jalanan.


Persoalannya yang terpenting bukanlah mencari kesalahan siapa yang menyebabkan semua ini terjadi. Agaknya terlalu dini untuk menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, sebab masalah anak jalanan merupakan hal yang rumit dan beraneka ragam. Bisa saja latar belakang kehadiran mereka di kota ini bukanlah karena kekeliruan orang tua dan keras kepalanya sang anak. Tetapi bisa saja karena korban dari perjalanan sejarah yang tidak adil. Kisah anak jalanan yang terpaksa harus hidup menderita di jalanan karena tanah dan rumahnya dicaplok oleh penguasa dan pengusaha; merupakan contoh ketidakadilan itu. Dengan kekalahan itu akhirnya keluarga ini harus mengalami sejarah yang pahit, sehingga satu diantara mereka harus hidup menderita di jalanan. Di sini terlihat kekejaman penguasa dan pengusaha yang menjadikan mereka harus hidup menderita di jalanan.




Diakui atau tidak, kehidupan anak jalanan sudah menunjukkan keberadaannya sendiri di tengah hiruk pikuknya Kota Medan ini. Orang mau terima atau tidak yang pasti anak jalanan sudah menjadi suatu bagian dari sebuah kebudayaan yang mapan di kota ini. Berbagai macam respon terhadap kehidupan anak jalanan ini pun sudah menjadi reaksi soiologis dan kukltural baik secara negatif, positif, ataupun netral. Dan yang paling sering muncul adalah reaksi negatif. Anak jalanan telah meninggalkan masa lalunya di rumah dan kini mereka berada di jalanan. Mereka sebenarnya ingin diakui eksisensinya, walaupun mereka harus berhadapan dengan sanksi sebagai pelanggar hukum dan pandangan negatif sebagai sampah masyarakat.

Namun harus disadari, tindakan dan perilaku sosial dan budaya mereka hanyalah untuk mempertahankan diri dan mendapatkan pengakuan sehingga mereka menentang kultur dominan dan memperkuat solidaritas mereka. Pola kejiwaan yang terlihat dalam diri mereka adalah sikap tidak peduli (cuek) menghadapi kehidupan sehari-hari sebagai upaya agar eksistensi mereka diakui melalui penciptaan kultur-kultur baru dengan makna yang lebih spesifik. Gaya kehidupan inilah yang merupakan sebagai sebuah subkultur yang khas dari sebuah kehidupan anak jalanan. Bagi anak jalanan, jalanan merupakan arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi bagi keberadaaan mereka. Di sisi lain anak jalan berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain, sehingga jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup tetapi untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan kemanusiaan mereka.


Apapun alasannya anak jalanan telah meninggalkan rumah dan menghidupi dirinya di jalanan atau bahkan menetap tinggal di jalanan. Dalam kehidupan anak jalanan terdapat dua fenomena sosial yaitu anak jalanan yang hanya bekerja di jalan dan anak jalanan yang memang hidup di jalan. Anak yang bekerja di jalan (misalnya penjual rokok, pengamen, penjual koran, penjual air minum dan lainnya) jauh lebih beruntung ketimbang anak jalanan yang hidup di jalan. Mereka memiliki tempat tinggal dan menjadikan jalanan hanya ebagai tempat berusaha. Sedangkan anak jalanan yang hidup di jalan menumpukan kehidupannya pada jalanan itu. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap jalanan. Sedihnya dalam situasi dan kondisi yang demikian mereka juga harus menghadapi dishamoni, tindakan ilegal untuk mempertahankan hidup.


Mereka menentang permintaan orang dewasa sebagai bagian dari indentitas diri untuk menolak anggapan bahwa mereka hanyalah anak kecil. Di dalam kehidupan jalanan yang liar, proteksi terhadap diri mereka seringkali rapuh oleh hal-hal yang terkadang ringan dan iseng. Menentukan jalan hidup yang sendiri sering membuat mereka tidak memiliki tempat untuk berbagai rasa. Dalam kekecewaan itulah tidak jarang terjadi pelarian ke titik negatif yang dirasakan bisa menghilangkan kekalutan. Jerumusan inilah yang mengikat anak jalanan akan menjadi korban sepanjang umurnya. Bahkan dalam situasi yang demikian mereka masih mengalami berbagai tekanan yang datang dari orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan. Dalam tekanan itu pula mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang tanpa batas waktu.

Keadaan ini telah menempatkan mereka sebagai sampah masyarakat akibat pandangan yang negatif. Bahkan secara hukum keberadaan mereka sering dibenturkan dengan pasal Ðpasal hukum yang berlaku. Betapa tidak mereka menghilangkan rasa malu dengan cara mabuk untuk memenuhi kebutuhan di tumpukan sampah, mengemis, ataupun melakukan pekerjaan yang berat dan di luar batas malu. Selain sebagai strategi ekonomi, mabuk itu akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli dengan aturan hukum. Jadi dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya mereka mengalami tekanan batin yang luar biasa dan merasa tidak pernah merasa nyaman dan aman. Setidaknya dari sebuah keterpaksaan mereka telah meresapi makna sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Walaupun kehidupan anak jalanan tidak memiliki kekuatan besar, namun hal itu adalah ekspresi dirinya dan reaksi terhadap kultur dominan masyarakat. Kalau mau jujur dapat dikatakan, keadaan yang mereka alami sebenarnya akibat dari perilaku orang dewasa.

Kontrol atas diri mereka yang berlebihan sehingga ekspresi kebebasan dan kreatifitas mereka terbatas sampai dengan tindakan ketidakadilan orang dewasa di rumah, di masyarakat, di sekolah, di kantor, di pemerintahan, dan di luar ruas jalanan itu luar jalanan telah menimbulkan kekecewaan pada diri mereka. Akhirnya mereka menjadikan jalanan sebagai ajang pemberdayaan diri dan penaklukan terhadap tindakan orang dewasa di. Anak-anak jalanan memilih kehidupan jalanan sebagai jalan keluar dari frustrasi sosial. Memang kehidupan anak jalanan ini merupakan sumber terciptanya sub-kultur baru anak muda perkotaan, tetapi keadaan ini tetap akan menempatkan anak jalanan di pinggir bahkan di luar tatanan sosial masyarakat yang dalam banyak hal selalu diabaikan oleh orang dewasa.

Anak Jalanan dan Penyakit Sosial

“Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri”

(Al – Qur’an)

Suatu kali, Presiden Korea berkunjung ke Timur Tengah. Dia melakukan kunjungan kenegaraan. Sang presiden, melewati gerbang istana kepresidenan. Dia membaca sebuah tulisan, kutipan ayat Al – Qur’an berbahasa Arab. Beliau bertanya, apa maksud tulisan itu. Seorang menjelaskan, makna ayat itu. Dia terkesima, membawa kutipan ayat itu ke negaranya. Dia merubahnya, “Allah tidak akan mengubah keadaan rakyat Korea, sampai rakyat Korea mengubah nasibnya sendiri”

Cuplikan kisah di atas, melukiskan perubahan itu keniscayaan. Manusia tidak selamanya miskin, perputaran kehidupan pasti terjadi. Pendidikan misalnya, dapat mengubah harkat dan derajat manusia menuju kehidupan lebih baik.

Anak Jalanan, generasi terpinggirkan

Baiklah, penulis ingin mengajak anda bertualang. Memasuki lorong kehidupan, masuk ke wilayah kumuh dan marginal. Kita ingin memotret getir kehidupan anak bangsa. Anak yang lahir sebagai pemilik sah bangsa. Melihat kembali kondisi penuh kegundahan dan ketidakpastian. Kondisi kesedihan akibat dampak kemiskinan yang menggurita.

Setiap manusia normal pasti memiliki jiwa sosial dan kepekaan nurani. Melihat kesenjangan sosial di masyarakat, hatinya tentu merasakan kesedihan mendalam. Timbul keresahan dan perasaan bergejolak melihat adanya perampasan hak manusia. John Locke berkata “ kecuali hak – hak dasar manusia yang bersifat umum, yaitu hak akan kehidupan, hak akan kemerdekaan dan hak akan milik, manusia juga memiliki hak untuk hidup layak. Adalah tugas negara untuk memberikan hidup layak bagi warganya.

Keresahan pertanda masih ada kepekaan nurani. Sehingga bukan tak mungkin menggerakan hati manusia. Jika itu terjadi, maka kesadaran terbangun dan membuat manusia bergerak melakukan perubahan. Terbentuk komunitas dan gerakan swadaya memperbaiki keadaan yang memburuk. Berkaitan kondisi masyarakat miskin dan anak jalanan, ada tiga ranah utama yang bisa dikembangkan : gerakan pendidikan budaya, gerakan swadaya ekonomi, gerakan kesehatan dan lingkungan, terakhir gerakan solidaritas sosial. (Ignatius Sandyawan, 2005)

Membaca dinamika sosial membuat kita jadi manusia perasa. Hati mudah luluh dan sedih melihat adik kecil harus sibuk bekerja. Tidak sekolah dan sibuk mencari uang, naik turun mengamen di bus kota. Secara psikologi jelas mereka terganggu, pendidikan terbengkalai sehingga berpotensi melahirkan penyakit sosial. Kriminalitas merebak dan kejahatan mengancam masyarakat. Berbagai pelanggaran sosial tak pernah berhenti. Semua itu dituding karena kemiskinan, sehingga melahirkan komunitas baru bernama anak jalanan.

Di tengah kerumitan menghadapi masalah anak jalanan, pemerintah bergerak lamban. Tak jarang penanganan masalah berjalan reaktif, temporal dan diskriminatif. Misalnya setiap hari, kita melihat adanya razia anak jalanan. Mereka ditangkap, dijebloskan ke panti sosial. Sesudah dirasa cukup pembinaan, kawanan anak jalanan dilepaskan. Ironis, tapi begitulah fakta di lapangan.

Suatu hari penulis berjumpa seorang adik kecil. Dia bercerita mengapa mengamen di bus kota. Semata mengejar kebutuhan perut. Masalah ekonomi jadi alasan utama. Tak jarang pula, hasil mengamen yang tak seberapa banyak dirampas. Ada upaya sistematis “memelihara” anak jalanan sebagai komoditas layak jual. Kondisi diperparah orang tua yang tidak mau tahu, bahkan lebih mengharapkan sang anak bekerja. Seakan orang tua mereka mengatakan“ lupakan sekolah dan pergi sana mengamen. Cari duit buat makan”

Menghadapi problematika anak jalanan, paling tidak ada fakta yang menarik dicermati, penulis berusaha memotret lebih dekat fakta itu. Sebuah kenyataan getir, akibat kegagalan pemerintah menyejahterakan masyarakat.

Kegalalan negara

Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan sebagai hak fundamental. Kewajiban ini dibebankan kepada negara bertujuan agar rakyat sejahtera. Secara konstitusi, hak dasar itu dipertegas misalnya “ negara wajib menganggarkan 20% APBN”. Sebuah semangat yang menegaskan, adanya tanggung jawab penguasa terhadap rakyat yang dipimpinnya. Alokasi anggaran menandakan kesejahteraan rakyat melibatkan sinergitas negara dan rakyat.

Ironisnya dalam kasus anak jalanan, banyak dari mereka kehilangan (tepatnya dirampas) haknya oleh negara. Satpol PP sebagai alat negara, menindas, memukuli dan memeras para pengamen. Sebuah bentuk kezaliman dipertontonkan dengan dalih, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Sebuah pertanyaan besar, mengapa masyarakat kecil selalu ditertibkan dan dijadikan korban. Kemarginalan dan takdir hidup, sudah miskin, dicaci mendapat perlakuan diskriminatif pula.

Mengemis dan Mengamen untuk Makan

Eksistensi anak jalanan menyiratkan sebuah keresahan atas fenomena ganjil pada masyarakat.Timbul keresahan, maraknya anak jalanan berkonotasi positif terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat.Kita melihat bagaimana anak kecil mengamen di bus kota, perempatan lampu merah atau terminal. Bekerja keras, demi mengumpulkan recehan untuk menyambung hidup.

Permasalahan mendasar berakar pada kebutuhan ekonomi. Mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi. Mengemis, mengamen dan memalak seakan menjadi tradisi kehidupan mereka. Ironisnya pemerintah terkadang mengambil jalan pintas menghadapi masalah ini. Razia anak jalanan sering dilancarkan, tapi tetap gagal mengatasi persoalan. Sebab pendekatan represif lebih diutamakan daripada pendekatan berbasis kemanusiaan, ekonomis atau pendidikan.

Sepantasnya pemerintah mengambil tindakan preventif (mencegah) bukan kebijakan tambal sulam. Razia anak jalanan dilanjutkan pengiriman ke panti sosial merupakan solusi instan. Ada baiknya pemerintah menempuh pendekatan ekonomi. Misalnya membagun komunitas wirausaha kreatif anak jalanan.

Kami Manusia, Bukan Binatang

Masyarakat terlanjur mengecam kehidupan dan aktivitas anak jalanan. Berbagai stigma negatif diberikan terhadap perilaku mereka. Pelabelan malas, kotor, penuh kekerasan, rawan, bodoh sulit dilepaskan. Kita cenderung antipasti dan menolak eksistensi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Seakan sudah nasib anak jalanan menjadi generasi terhinakan.

Lebih menyakitkan, tuduhan sebagai sampah masyarakat melekat erat. Bagi manusia umumnya, anak jalanan adalah penjahat, pencopet, tukang palak. Kondisi ini berpotensi mempengaruhi efek psikologis. Bukan tak mungkin, mereka jadi kebal atas berbagai stigma negatif. Akibatnya perilakunya semakin menggila dan cenderung apatis terhadap sekitarnya.

Kita sering mendapati anak jalanan, tidak hanya mengemis. Mereka menodong penumpang bus, mengamen dengan memaksa dan berbagai kejahatan lain. Citra sebagai kaum terpinggirkan dan kemiskinan struktural membuat mereka terpaksa melakukan itu. Sementara masyarakat mencap jelek, tanpa ada upaya mau memahami psikologis dan kondisi yang melatarbelakanginya.

Membaca kondisi menyedihkan marginalisasi anak jalanan, sepantasnya kita memunculkan pertanyaan mendasar. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?. Sebab rasanya pemerintah tak lagi bisa diandalkan menghadapi serbuan masalah anak jalanan. Kompleksitas penyakit sosial ini seolah menemukan solusi tanpa akhir. Setiap berusaha melahirkan sebuah gagasan dan solusi konstruktif,masalah baru selalu menghadang.

Kemampuan membaca masalah memang lahir karena belum ada upaya serius pemerintah. Penanganan anak jalanan masih gali lubang tutup lubang. Belum ada upaya integral membenahi komunitas anak jalan secara kreatif dan produktif. Rendahnya pendidikan baik sang anak dan orang tua juga belum menggambarkan upaya serius mengentaskan maraknya anak jalanan terutama di kota besar.

Penulis sendiri menyarankan, setidaknya pemerintah membangun tiga basis mengatasi problematika anak jalanan.

Pertama, membangun basis pendidikan alternatif berbasis anak jalanan. Pada dasarnya anak jalanan rela turun ke jalan dan bekerja karena dua faktor. Pertama rendahnya pendidikan sehingga mengakibatkan rendahnya kesadaran mendapatkan kesempatan hidup layak. Timbul sinergitas pendidikan yang berbanding lurus dengan ekonomi. Makin rendah pendidikan maka makin terbuka peluang terciptanya kemiskinan secara ekonomi.

Pembangunan pendidikan alternatif dipandang penting, tentu menyesuaikan kebutuhan dan persepsi mereka tentang dunia pendidikan. Misalnya kurikulum yang fleksibel dimana menekankan proses pembelajaran berorientasi mengentaskan pemberantasan buta huruf. Penekanan lebih mengarah pada belajar calistung. Jika memungkinkan, sang anak memiliki minat melanjutkan pendidikan dan berpretasi diberikan beasiswa atau melanjutkan ke program pendidikan kesetaraan.

Tak boleh dilupakan, pendidikan kecakapan hidup. Jika mereka terbiasa pagi mengamen ada baiknya mereka diajarkan lagu yang baik. Pendidikan kepribadian berupa perilaku santun perlu juga ditumbuhkan. Misalnya mengucapkan salam (bagi yang muslim) sebelum mengamen, tidak memaksa penumpang dan menjauhi perbuatan mengarah pada kriminalitas yang merugikan orang lain.

Kedua, membuat sanggar anak jalanan sebagai sarana menumbuhkan kreativitas dan produktivitas. Potensi anak jalanan sebenarnya banyak dan harus terus digali sehingga menimbulkan kesadaran mereka mampu dan layak bersaing. Ada sebagian suka menyanyi, dibuatlah program seni musik dan tari. Setiap akhir bulan diikutkan kompetisi menyanyi atau menari. Ada yang menyukai sablon, ajarkan mereka menyablon kaos sehingga menghasilkan uang memenuhi kebutuhan hidup.

Ketiga, melakukan pendekatan intensif dalam menghadapi kenakalan dan ulah anak jalanan. Selama ini pola razia menghasilkan paradigma destruktif, kontradiktif dan bersifat incidental. Belum menyentuh akar persoalan, dimana setiap digelar razia maka berujung sang anak “dijebloskan” ke panti sosial. Ironisnya kegiatan itu berlangsung formalitas sebab setelah mendapatkan sedikit banyak pengarahan sang anak kembali dilepaskan. Tak heran mereka kembali turun merasakan aspal jalanan.

Kondisi memprihatinkan ini, disebabkan pemerintah gagal membuat pola pendekatan persuasive. Alangkah baiknya, sang anak jalanan diberdayakan secara manusiawi. Ketika tertangkap razia, diserahkan ke panti sosial untuk dibina dan dididik lebih dekat. Misalnya membuat pelatihan wirausaha atau keterampilan lain yang lebih berguna. Sehingga masalah “perut” sebagai akar persoalan fundamental dapat teratasi. Jika ini sudah berjalan, pemerintah dapat mengarahkan untuk menyentuh aspek pendidikan sehingga meningkatkan taraf hidup mereka.

Sisi Lain Anak Jalanan

Pernahkan terlintas di pikiran Anda, lebih hebat manakah kita dengan anak jalanan / pengamen?

Apakah kita yang lebih hebat?

Bagi Anda yang menjawab demikian Anda SALAH BESAR … tahukah apa yang membuat comment kita tersebut salah?

Mungkin bila kita melihat orang jalanan / pengamen yang selalu yang ada di benak kita adalah anak yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar, tapi ada suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan /pengamen mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki.

Apa keistimewaannya?

Tiap hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan hanya untuk 1 tujuan yaitu mencari uang untuk hidup 1 hari. Walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari selanjutnya.

Namun bagaimana dengan kita?

Kita tidak tiap hari merasakan kekejaman dunia, hanya pada waktu tertentu saja namun lebih parahnya kita selalu gampang berputus asa bila mengalami kegagalan dan yang lebih parahnya lagi kita tidak pernah mensyukuri apa yang kita punyai saat ini.

Sekarang lebih hebat manakah ?

Kita atu anak jalanan?

TARGET MENSOS AKHIR 2011 TIDAK ADA ANJAL DI JAKARTA

Jakarta, 19/10/2010 (Kominfo-Newsroom) Menteri Sosial Salim SegafAl-Jufri menargetkan akhir 2011 anak jalanan (anjal) yang ada diJakarta sudah tidak ada lagi.

Kita harus berbuat semaksimal mungkin untuk supaya sukses targettersebut, kata Mensos pada forum diskusi media massa pencapaiansatu tahun dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang diadakanKemensos, Jakarta, Selasa (19/10).

Ia mengungkapkan permasalahan sosial, kemiskinan, penyandangmasalah kesejahteraan sosial di Indonesia, sangat banyak. Sebagaigambaran, masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan jumlahnyakira-kira 31.200.000 jiwa. Mereka berpenghasilan Rp7.000 perhari.

Sedangkan anak terlantar usia di bawah 15 tahun jumlahnyasekitar 5,4 juta, lansia terlantar 1,7 juta, mereka yang tinggaldirumah tidak layak huni 2,3 juta dan korban bencana 1,6 juta jiwa.Kemudian, penyandang cacat, cacat berat dan wanita rawan sosialekonomi sekitar 1,2 juta jiwa.

Dengan latar belakang seperti itu, kalau ada masyarakat yangmerasa pembangunan peningkatan kesejahteraan dalam setahun tidakterasa, harus dimaklumi karena memang permasalahannya cukup besar.Kita tidak boleh menyalahkan masyarakat, tapi juga tidak semudahseperti membalikkan menyelesaikan permasalahan, katanya.

Kemensos berharap di akhir 2011 kelihatan ada secercah harapan.Sebagai contoh mudah-mudahan tidak ada lagi anak jalanan yang adadi Jakarta. Kita akan berbuat semaksimal mungkin untuk sukses, tapitanpa kebersamaan dari semua komponen bangsa, juga kitakhawatirkan. Namun, kita optimis mudah-mudahan bisa terwujud,tambahnya.

Program pengentasan anjal di wilayah DKI Jakarta diangkatsebagai prioritas nasional. Inisiatif tersebut didukung sepenuhnyaoleh Gubernur DKI Jakarta dan juga Pemerintah Provinsi Jawa Baratserta Banten. Dukungan dari LSM pengelola rumah singgah dan duniausaha juga aktif digalang. Termasuk bekerjasama dengan KementerianAgama, dengan target 2.500 anjal menempuh pendidikan terpadu dipesantren.

Kemudian, di akhir 2014, diharapkan anjal di seluruh wilayahprovinsi sudah tidak ada lagi. Jadi masalah anjal saat ini menjadisalah satu prioritas yang menjadi perhatian dari Kemensos.

Kemensos juga mempunyai beberapa program unggulan, di antaranyaProgram Keluarga Harapan (PKH) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).PKH merupakan investasi jangka panjang, yang pada 2010 ini sudahterealisasi sekitar 75%. Sisa waktu yang ada ini diharapkanterealisasi semua.

Sedangkan KUBE, yaitu anggaran untuk pusat dan daerah mencapaiRp431 miliar. Dana dari pusat didekonsentrasikan ke daerah seluruhprovinsi di Indonesia sekitar Rp300 miliar dan untuk di pusatsekitar Rp120 hingga Rp130 miliar.

Melalui KUBE diharapkan penumbuhan kelompok yang jumlahnya 10orang, dengan mendapatkan Rp20 juta. Jadi yang kita inginkan adalahtidak hanya membagi-bagi uang saja, tapi setelah diberikan uang itudapat dikembangkan. Kemudian mereka mendapatkan penghasilan,sehingga bisa hidup mandiri dan sejahtera, jelasnya.

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan

Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti ”rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan.

Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri. SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka. Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga.

Di sanggar, Didit menjadi bapak. Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.

Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan perilaku.

”Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini.

Pendidikan perilaku hanya satu dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan. ”Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.

Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan praktis

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual.

Lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan. Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan.

Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya.

”Kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.

Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri. ”Jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit.

Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana. ”Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit.

SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang

Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. ”Kasih sayang,” kata kakek satu cucu ini. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat.

Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan.

Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri. Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan.

Di balik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan. Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”.

Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit. Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.

Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah. Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari.

Adi Hartono, misalnya, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan.

”Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit.

Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun lalu, tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Kini, Mu’ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.

Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyarakat.

Dewan Pendidikan Minta Anak Jalanan Ditertibkan

TEMBILAHAN – Ketua Dewan Pendidikan kabupaten Indragiri Hilir, Drs. Kemas Yusferi menyatakan kerisauannya terhadap makin banyaknya anak di bawah umur yang berkeliaran di jalanan di kota Tembilahan bahkan sampai tengah malam, sehingga mendesak untuk dilakukan penertiban dan pembinaan.

Kegelisahan ini disampaikannya, Kamis (7/10) di Tembilahan. Menurutnya setiap saat selalu dijumpai anak yang seharusnya masih bersekolah dan bermain sudah harus berkeliaran mencari uang, bahkan hal itu mereka lakukan sampai tengah malam di saat semua orang sudah tertidur lelap.

“Saya lewat lembaga Dewan Pendidikan telah mengusulkan kepada pemerintah daerah melalui bagian sosial untuk melakukan penertiban secara seksama dan konfrehensif terhadap makin banyaknya anak dibawah umur yang berkeliaran di jalanan dengan alasan mencari uang, “ ungkap Yusferi.

Lebih jauh Yusferi menjelaskan kemungkinan belum bisa dikondisikannya anak jalanan ini adalah karena Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) untuk kabupaten Inhil sampai saat ini belum juga terbentuk. Selain itu keberadaan anak jalanan ini disinyalir ada yang mengkoordinirnya.

“Hendaknya ada sebuah lembaga independent yang mau mengurus hal ini, karena kondisi tersebut dinilai sudah sangat mengkhawatirkan, “bayangkan saja jika beberapa anak umur 6-7 tahun berkeliaran di kantor-kantor menawarkan semir sepatu dan kadang-kadang mereka datang hanya menadahkan tangan untuk meminta uang untuk makan, ini terjadi di depan mata kita lo (termasuk para pengambil kebijakan-red)?, “ tukasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ketika menanyakan salah satu cara atau solusi yang mungkin ada pada Dewan Pendidikan, Yusferi menjelaskan bahwa yang paling utama itu adalah kemauan untuk melakukan pembinaan itu, karena jika hal itu sudah ada banyak jalan yang bisa ditempuh, salah satunya dengan melibatkan BUMN, BUMD serta perusahaan yang beroperasi di daerah ini.

“Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah lewat suatu lembaga atau organisasi yang terkoordinir. Kepada mereka diberikan peluang untuk melakukan investigasi terhadap keberadaan anak jalanan ini, sebab tipe anak jalanan ini juga bermacam-macam seperti anak jalanan yang memang tidak punya orang tua lagi, sebagian masih punya orang tua namun tidak bertanggung jawab, kemudian adalah anak jalanan yang sengaja di datangkan dari berbagai daerah ataupun dari anak tempatan sendiri untuk melakukan kegiatan ini di bawah koordinasi kelompok atau oknum tertentu, “ jelas Dirut PDAM Tirta Indragiri ini.

Selanjutnya, ketika data ini sudah dikantongi lembaga tersebut bisa melakukan pembinaan dengan bekerja sama dengan pemerintah dan pihak ketiga di atas, karena pihak ketiga seperti yang disebutkan itu juga mempunyai kewajiban yang jelas melalui Development Convert Responsibility (DCR) atau dulu dikenal dengan nama Community Development (CD).

“Saya sendiri melalui PDAM akan bersedia menyisihkan sebagian dari keuntungan jika memang ada lembaga atau organisasi yang serius dan konsisten serta kredibel dalam melakukan pembinaan terhadap anak jalanan ini, karena pada hakikatnya baik itu BMUN, BUMD telah diwajibkan oleh Undang-undang untuk membantu masyarakat tempatan melalui keuntungan yang telah mereka peroleh, jadi tinggal kita saja lagi mau atau tidak melakukannya, “ tantang Yusferi yang juga dosen UNISI ini.

Terakhir yusferi mengingatkan kepada semua orang tua yang dinilai tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya itu akan dapat dikenakan sangsi pidana, karena telah membiarkan anak-anaknya melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan orang dewasa, terlebih lagi pada waktu dan jam istirahatnya.

MENJADI DAMPAK YANG BENAR KARENA

AKU MELAKUKAN PERUBAHAN YANG BENAR

Setiap kita harus mengalami perubahan kearah yang benar dan perubahan itu akan memberikan dampak nyata didalam perbuatan kita. Kami menekankan bahwa tindakan kita untuk memberi didasari oleh pengertian kita yang telah diubahkan oleh Firman Tuhan bukan karena kemampuan semata. Kita memberi dengan pengertian yang benar buka sekedar memberi.

Pada Tahun 2008 saya saya merumuskan kembali program-program yang ada didalam komuniatas kami, dan salah satunya adalah Positive Outing Day atau disingkat POD. Didalam program POD ada 2 sub program salah satunya adalah Feed The Hunger. Feed The Hunger salah satu sub program yang beregerak utk menyatakan tindakan nyata dari kasih kristus kepada sesama. Feed The Hunger bisa berbentuk memberi makan nasi, roti dan lain-lain.

Feed The Hunger

FTH di tahun 2008 bergerak dengan tema “Program 2000″ dimana kami akan memberkati anak-anak dijalanan dengan modal 2000 rupiah/anak. Caranya adalah setiap anak jalanan akan mendapatkan bingkisan yg seharga rp.2000. Dimana dengan uang 2000 itu kami dapat membeli: Air kemasan Rp 500, Roti Rp 1.000 dan Vitamin C Rp.500. Dan dana diperoleh adalah dari komitemn masing-masing, jika ada yg sanggup memberikan 10.000 rupiah artinya dia akan memberkati 5 orang dijalanan dan kalau dia hanya bisa beri rp.2000 dari uang jajannya itupun luar biasa. Dan bagi kami bukan berapa banyak yang bisa berikan tetapi hati yg rindu utk berbagi berkat dengan orang lain dan membuktikan kasih Yesus mulai dari perkara kecil.

Tahun 2009 student impact memiliki sebuah visi yg didapat dari Luk 4: 18 : “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku 19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan (memberi) penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Hingga ditahun 2009 kegiatan FTH dengan tema “Program 2000″ kembali dilanjutkan, kami bergerak sejak bulan Januari 2009 sampai Desember 2009. Kegiatan ini dilaksanakan disekitar Bekasi.

Namun pada 25 Desember 2009 kami memulai sebuah tema yang baru ”Sekotak Susu Untuk Anak Jalanan.” Kami bergerak dengan membagikan 67 kotak Susu. Dan kegiatan ini didukung oleh orang-orang dewasa yg mau memberikan donasi.

Sekecil apapun pemberian rekan-rekan jika kita memberikannya dengan pengertian yang benar maka pemberian itu akan mempunyai nilai yg kekal. Kami bertindak karena kami percaya dan mengerti kami adalah garam dan terang. Garam sekalipun sedikit tetap disebut garam dan tetap rasnya asin. Terang sekalipun kecil tetap disebut terang dan menerangi yg didekatnya. Kita mulai menjadi garam dan terang bagi anak-anak dijalan dengan alat nasi, roti dan air. Sampai suatu saat Tuhan akan membuka kesempatan memberitakan kasihNya. Dan itu pasti terjadi!

Sekotak Susu Untuk Anak Jalanan

Dari nasi bungkus sampai sekotak susu

Sejak saya dan teman-teman komunitas student impact berkomitmen untuk menjadi dampak nyata bagi kota, kami bergerak untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tidak harus dari hal-hal yang besar tetapi dimulai dari hal-hal yang kecil. Ditahun 2007 komunitas kami student impact mempunya visi: Menjadi Komunitas yang memberikan tindakan nyata dari Kabar Baik. Maka mulai dari tahun 2007 di bulan april sampai bulan september, kami bergerak untuk memberikan makanan gratis dalam bentuk nasi bungkus kepada anak jalan (Pengamen, pengemis dan Punk) pada malam hari, disekitar kota Bekasi. Uang yang untuk membeli makanan itu berasal dari uang pribadi anggota komunitas dan para donatur yg mau terlibat. Kita tidak terlalu memaksakan diri dengan jumlah makanan yg akan kita berikan. Prinsipnya memberi dari apa yang ada pada kita. Kalau Bisa terkumpul lima puluh bungkus nasi ya Puji Tuhan, berarti itu yg kami berikan.

Pengertian baru.

Saya teringat kisah Tuhan Yesus memberi makan 5 ribu orang, murid-murid hanya memiliki 5 roti dan 2 ikan lalu Tuhan berkata “Bawalah ke mari kepada-Ku.” Dari hal itu saya belajar bahwa hal kecil yg kita miliki bisa berdampak yang besar kalau kita serahkan kepada Tuhan dan kalau kita mau bertindak sesuai perintahNya.

Semangat “Anak Jalanan”

Pagi ini cuaca tidak begitu bersahabat, akan tetapi apapun keadaannya kita wajib tuk mensyukurinya. Alhamdulillah pagi ini dapat suatu pengalaman yang mungkin tak terlupakan, yaitu saat nongkrong di halte bus. Tiba-tiba saja saya berpikir tentang adik-adik & mas-mas bahkan kakek yang lagi ngamen di lampu merah. Dalam hati sich…saya masih bertanya-tanya “Pelajaran apa yang hendak Allah ajarkan kepada Kita?“.

Hampir 3 Jam sudah saya mengamati para saudara-saudara kita itu (pengamen lampu merah & Pengemis di lampu merah). Terlepas dari cerita buruk/kelam para anak jalanan, agaknya terlalu dini untuk menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, sebab masalah anak jalanan merupakan hal yang rumit dan beraneka ragam. Bisa saja latar belakang kehadiran mereka di kota ini bukanlah karena kekeliruan orang tua dan keras kepalanya sang anak. Tetapi bisa saja karena korban dari perjalanan sejarah yang tidak adil.

Satu dari sekian banyak ilmu yang saya dapatkan dari mengamati saudara-saudara kita ini : “Mereka sangat sabar menunggu ditengah panas teriknya matahari walaupun mungkin hasilnya hanya mendapatkan uang Rp.500,- “. Kesabaran dan Semangat mencari rejeki mereka itulah yang wajib kita tiru, bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu tidak mudah dan tentunya butuh proses.

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. 2 : 153) –> “Mintalah pertolongan kepada Allah dengan Sabar & Sholat”

KISAH ANAK JALANAN

beberapa waktu yang lalu aku pernah di mintai tolong oleh teman ku untuk menemani untuk wawancara anak jalanan dan pengemis jalanan yang kadang membuat kita merasa iba atas keberadaannya.

dengan senang hati aku membantu teman ku itu, aku sebenarnya ingin tau apa yang menjadi penyeban dan alasan mereka jadi lebih memilih menjadi peminta minta dari pada menjadi pekerja kasar yang lain.

hari pertama kami habiskan untuk mewawancaraai beberapa orang peminta minta di jalan. hasil wawancara hari ini sebenarnya cukup untuk bahan tulisan teman aku. namun entah kenapa aku merasakan ada beberapa kejanggalan dalam hasil wawancara itu.

menurut mereka, karena mereka tidak punya ijazah lah yang membuat mereka terpaksa meminta minta dijalan. jagankan lulusan SMK atau SMA, ijazah SD pun masih belum mereka kantongi. sedangkan saat ini peluang perusahaan atau tempat usaha yang ada menuntut untuk minimal berijazah SMA atau SMK. inilah salah satu penyebab kenapa pemerintah begitu gencar untuk menuntut masyarakat untuk wajib belajar 12 tahun.

pada hari ke tiga kami lanjutkan untuk wawancara dengan beberapa anak jalanan dan pengamen di lampu merah. menurut mereka sebagian dari mereka memang ada yang sekolah, tapi banyak juga yang lebih memilih menjadi pengamen jalanan atau peminta minta karena tidak punya biaya untuk sekolah. bahkan yang menyuruh mereka untuk mengamen di jalan adalah orang tua mereka dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga

dari dua hari kami wawancara dengan para manusia yang mengantungkan hidup dijalan ini rasanya sudah cukup untuk bahan tulisan teman aku, tapi untuk aku pribadi itu masih sanggat kurang

dengan modal celana jins yang sobek dan ku potong dan gitar pinjaman dari teman aku. aku mencoba untuk mencari tau semua pertanyaan itu dengan cara aku sendiri

memerlukan waktu sampai satu minggu untuk aku akhirnya bisa kenal cukup dekat dengan beberapa anak jalanan dan pengemis.
aku mulai pertanyakan kenapa mereka tidak sekolah

dengan wajah santai beberapa anak menjawab

"buat apa sekolah, mending ngamen ato ngemis"

"sekolah kami bayar tapi kalo ngemis kami dapat duit"

ini benar benar jawaban yang mengejutkan untuk aku pribadi. memang benar tidak semua anak jalanan beralasan seperti itu, masih ada beberapa anak yang memang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalan untuk mencari uang buat sekolah dan sebagian di berikan pada orang tua mereka. namun persentasi itu sangat minim. hanya beberapa anak saja yang beralasan sepeti itu

kemudian aku ikut pulang kerumah salah satu teman jalan ku dengan alasan aku pengen ikut menginap dirumah dia. aku terkejut bukan kepalang
ternyata rumah teman jalanan ku itu jauh lebih bagus dari rumah ku yang RSSSSSSSSSS (Rumah Sangat Sengsara Sekali Sedikit Semen Sampai Selonjor Saja Sudah Sangat Susah).

rumah mereka cukup besar dengan ruang tamu yang cukup lebar, belum lagi kamar mereka yang isinya cukup lengkap. setelah aku bertanya sebagian dari ini mereka dapat dari hasil mengamen dan meminta minta

waktu makan malam aku sempat berbincang bincang dengan keluarga itu

"mudahan esok aku pakulihan banyaklah"

"hari ini sadang haja punk, dari baisukan sampai kamarian pakulihan haja mandua ratus"

bahasa Indonesianya

"semoga besok dapat lebih banyak"

"hari ini lumayanlah, dapat dua ratus ribu dari pagi sampai sore"

ini adalah nominal yang lebih besar dari pada PNS yang masih aktif, setelah aku pikir pikir benar juga. semisal setiap orang memberi Rp 1000 dan itu di kali 100 orang saja sehari sudah 100 ribu mereka dapat

kemudian bapak dirumah itu bilang pada ku yang masih newbie dalam dunia jalanan

"kada usah gair wal ai"

"datu moyang kita sudah manyambat buhan kita ni kada bakal kalaparan asal masih haja bagana di banua saurang"

bahasa Indonesianya

"tidak perlu takut teman"

"nenek moyang kita pernah bilang kita tidak akan kelaparan asal kita masih ada didaereh sendiri (tanah banjar)"

mungkin itulah salah satu alasan kenapa mereka lebih memilih menjadi peminta minta dari pada bersusah payah
karena adanya jaminan dari kata kata nenek moyang kami yang bilang bahwa hidup mereka akan terjamin selama meraka ada di tanah mereka sendiri.
KESIMPULAN

Bangsa Indonesia tidak akan bisa maju selama bangsa ini belum bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian tersebut tidak akan bisa tercapai selama para pemimpin pusat dan para pemimpin daerah hanya sibuk memanfaatkan kepercayaan yang masyarakat berikan sebagai aset untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara tidak menyalurkan dana yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Hal ini akan menyebebkan orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin dan terpuruk, serta tidak akan tercapai selama pemerintah pusat dan daerah belum mempunyai kesadaran untuk lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat dibanding kesejahteraan sendiri.

Untuk dapat menyelesaikan masalah sosial khususnya masalah sosial anak jalanan tidak akan tercapai hanya dengan mengandalkan pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah juga harus ikut andil dalam penyelesaian tersebut.
Strategi dan Cara Penanggulangan

Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah kita bersama. Pemerintah harus konsen dalam menyelesaikan masalah sosial tersebut. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli terhadap permasalahan ini dan juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial.

Penanggulangan dapat dilakukan dengan membuat program peningkatan kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat agar mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.

Program penanggulangan diatas diharapkan bisa memberikan kesadaran penuh kepada anak-anak jalanan bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif dan tindakan kolektif tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.

Analisis Masalah Anak Jalanan di Indonesia

Kehidupan Anak Jalanan

Sebutan anak jalanan digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan yang umumnya sudah tidak memiliki ikatan dengan keluarga dan bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarganya. Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.

Setiap harinya berita tentang anak jalanan seolah-olah tidak ada hentinya. Derita dan penyiksaan yang mereka alami sering muncul dalam berita. Anak jalanan di bawah umur kebanyakan diperas, ditindas dan dipaksa untuk bekerja oleh para preman dan hasil kerja yang mereka peroleh dipaksa untuk disetorkan kepada preman tesebut. Anak jalanan harus berjuang ditengah-tengah kota yang kejam untuk mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Pekerjaan yang mereka kerjakan misalnya menjual rokok, membersihkan bus umum, penjaja koran, atau juga mengamen.

Keuntungan yang mereka dapat tidak seberapa, namun harus mereka lakukan agar dapat tetap hidup di kota metropolis ini. Anak-anak jalanan ini biasanya mangkal di terminal atau di persimpangan-persimpangan jalan. Apa yang mereka lakukan adalah sebenarnya karena faktor ekonomi. Keadaan ekonomi yang memaksa mereka harus bekerja, dan pekerjaan yang bisa mereka lakukan untuk seusia mereka adalah pekerjaan di sektor informal.

Penggusuran yang sering kali dilakukan oleh Satpol PP terhadap anak jalanan ini akan memperparah keadaan. Akan timbul masalah sosial yang lebih besar. Anak-anak yang digusur akan kehilangan mata pencaharian, sedangkan secara ekonomi, mereka harus mencari lapangan usaha yang mampu memenuhi kebutuhannya.

Bila lapangan usaha tersebut hilang, maka mereka akan mencari lapangan usaha lain, dan bila ini tidak didapatkan, mereka akan melakukan tindakan apa saja yang penting bagi mereka bisa menghasilkan uang. Hal inilah yang menimbulkan dampak sosial. Sebab apa yang mereka lakukan sudah tidak memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku.

Bila ini sudah terjadi tentunya aparat keamanan akan semakin disibukkan kembali. Pencopetan, perampokan, penodongan dan tindak kriminal lainnya akan menjadi suatu tindak pidana baru yang pelakunya adalah anak-anak di bawah umur.

Beri Aku.....

Beri aku dua pasang mata, ya Tuhan
sepasang tak lagi memadahi
karna aku punya sahabat
untuk di tatap dengan penuh makna.


Beri aku dua pasang tangan, ya Tuhan
sepasang tak lagi cukup
karna aku punya sahabat
tempat tanganku selalu sedia.

Beri aku dua pasang kaki, ya Tuhan
sepasang tak lagi bisa
karna aku punya sahabat
yang kan ku sertai kemana pun.


Beri aku dua pasang telinga, ya Tuhan
sepasang tak lagi mampu
karna aku punya sahabat
untuk ku dengarkan curahan hatinya.

Kekerasan pada Anak karena kurang Edukasi



Orang tua memukul anak adalah kejadian yang sering kita temui sehari-hari. Suatu hal yang dikatakan lumrah bila bertujuan untuk mendidik anak. Bagi orang tua cara mendidik anak adalah hak prerogratif mereka. Terserah mereka bagaimana caranya.

Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani, dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak. Dari hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak.

Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing. Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan.

Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa. Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani, spontan mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum. Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian hari.

Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif. Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat merasakan manfaatnya.

Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita melakukan hal yang mendekati harapan kita. Dalam mendidik anak orang tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih hukuman fisik untuk mencapai harapannya?

Mungkin hal ini dikarenakan pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan. Yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya.
Tentu lingkaran itu dapat berlangsung karena masyarakat merasakan manfaatnya. Akan tetapi apakah semua anak dapat diberlakukan sama?

Ternyata tidak selalu. Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan. Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa ia diberikan hukuman fisik tersebut. Terutama bila anak diminta bertentangan dengan proses perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah merupakan suatu hal yang wajar. Dan bila hal ini berlangsung terus menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada melakukannya.

Banyak ahli psikologi anak juga meragukan efektifitas hukuman fisik pada anak. Misalnya saja James Dobson, dalam bukunya Dare to Dicipline. Ia menekankan hukuman fisik tidak akan mencegah atau menghentikan anak melakukan tindakan yang salah. Hukuman fisik ini justru bisa berakibat buruk. Bahkan, dapat mendorong anak untuk meneruskan dan meningkatkan tingkah lakunya yang salah. Ahli lainnya, Leonard D. Eron, dalam riset yang dilakukannya menunjukkan hukuman fisik malah mendorong anak untuk bertingkah laku agresif.

Tentu kita tidak menginginkan generasi agresif yang dapat bersifat destruktif. Lingkaran hukuman fisik pada anak sudah seharusnya dihentikan. Sebab mendidik anak tidak harus dengan kekerasan.

Bila kita setuju dengan istilah mencegah lebih baik dari pada mengobati, maka kita perlu langkah nyata untuk mencegah kekerasan pada anak. Pemahaman masyarakat dapat ditingkatkan melalui media promosi. Terkait erat di dalamnya adalah media massa sebagai pembentuk opini masyarakat. Sudah saatnya generasi baru penuh cinta kasih.

Puisi tentang Anak Jalanan




Senandung sendu meratap-ratap
memar tubuhnya membiru lagi
bibirnya kaku, dingin dan semu..
tapi lantunkan lagu cinta.

Tuhanku, adakah seseorang yang mampu menopang berat deritanya ?
Tuhanku, kirimlah seseorang untuknya.

Menaiki tangga mimpi
mengambil tiap lagu-lagu di langit
ingin temukan kedamaian..

mengais-ngais mimpi dari jalanan, yang kadang terbuang oleh orang yang menaiki mobil mewah.

semburat senyum tipis dari wajahnya
menyimpan keluguan misteri mimpi
yang akan terungkap nanti.

kamu, jangan berhenti bermimpi
aku akan selalu memberimu permata
yang menjadi doa pemimpin langkahmu.

Tuhan, walau semenit jadikanlah Ia orang paling bahagia sedunia.

Pengakuan Germo ABG: Saya Pernah Jadi Piala Bergilir Anak Jalanan

SURABAYA, BANGKA POS.COM – Bagaimana sih asal mula pergaulan Ver, tersangka germo ABG dan PSK yang ditangkap di Surabaya. Inilah pengakuan Ver, bahwa sejak kelas II SMP, Ver sudah mulai kenal bolos sekolah. Ia mengaku merasa agak terkekang.

Saking seringnya bolos, Ver yang kini berstatus tersangka kasus trafficking ini, lalu dipanggil ke kantor sekolah untuk diperingatkan. Meski begitu, perempuan berambut sebahu itu tidak kapok. Ia malah kerap bolos sekolah, meski hanya untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya atau cangkruk di Taman Bungkul.
“Terakhir saya dikeluarkan dari sekolah sekitar tahun 2007,” paparnya.

Tahu Ver dikeluarkan dari sekolah, tantenya marah. Ia sempat dikunci sendirian di rumah supaya kapok dan mau sekolah lagi. Setelah ditanya tantenya apakah masih ingin melanjutkan sekolah, Ver malah tegas mengatakan tak mau sekolah lagi. Tak pelak, semua pakaian Ver dibuang ke depan rumah. Ver yang masih berusia sekitar 14 tahun itu pun minggat dari rumah tantenya.

Ver mengaku tak mau sekolah lagi, karena tiap hari oleh tantenya hanya diberi sangu Rp 1.500. Menurutnya itu hanya cukup untuk naik bemo, sedangkan pulangnya ke Nginden harus jalan kaki.

Begitu memutuskan minggat dari rumah tantenya, Ver mengaku sempat melihat banyak anak jalanan di Jembatan Panjangjiwo. Ia pun bergabung. Setelah kenalan, ternyata anak jalanan itu berasal dari Jakarta. Beberapa anak jalanan itu akhirnya menawari Ver ikut ke Jakarta. Ver yang hidup sendirian langsung mengiyakan.

Setelah perjalanan naik kereta api (KA) hingga Jakarta, Ver mengaku diajak ke daerah Tanah Abang. Ia diajak masuk ke sebuah rumah gubug. Di tempat itu, Ver dikenalkan dengan teman-teman anak jalanan pria dan perempuan. “Jumlah perempuannya kalau tidak salah ada empat termasuk saya dan laki-lakinya banyak sekali,” ungkapnya.

Selama di Jakarta, ia disuruh mengamen di jalanan. Tidak itu saja, ia juga menjadi ‘piala bergilir’ oleh sesama anak jalanan. “Keperawanan saya hilang ya di Jakarta itu,” kata Ver tertunduk.

Karena ia tidak kerasan, Ver memilih balik ke Surabaya dengan naik KA. Ia memilih ngamen di jembatan Panjang Jiwo. Malamnya terkadang tidur di emperan toko atau di bawah kolong jembatan. Sekitar sepekan kemudian Ver ditangkap petugas Satpol PP Pemkot Surabaya karena dianggap mengganggu ketertiban.

“Keluarga di Nginden yang mengambil, karena diberitahu petugas. Ketika itu saya berjanji tidak akan macam-camam lagi,” jelasnya.

Setelah diambil pihak keluarga, Ver lalu memutuskan bekerja di sebuah tempat biliar di Bratang. Ia ingin menjadi orang baik-baik. Rupanya, Ver kecantol dengan seorang lelaki dan diajak minggat selama sepekan. Ia tidak berani kembali ke rumah tantenya. Lebih parah lagi, Ver dikeluarkan dari pekerjaannya karena sering tidak masuk kerja.

Setelah itu, Ver menjadi freelance di cafe kawasan Jl Mayjen Sungkono. Di sinilah Ver kerap bertemu lelaki hidung belang. Ia juga kerap dibooking dan diajak pesta minuman keras. “Kadang aku dibooking dan diberi uang Rp 300.000 sampai Rp 500.000,” ungkapnya.

Ver mengaku pernah dijual Mami Tutik yang kemudian ditangkap anggota Reskrim Polrestabes Surabaya pada Maret 2008. Namun Ver tidak ditahan karena sebagai korban. “Mami Tutik yang ditahan,” jelasnya.

Dari cafe itu pula, Ver lalu mulai coba-coba menjadi germo atau bos-nya para ABG untuk dijual ke para lelaki hidung belang. Hingga akhirnya ia punya anak buah 15 hingga 17 orang seusai SMP dan SMA.

Puncaknya, Kamis (7/10/2010) malam, Ver ditangkap saat mengantar anak buahnya, Cit, 17, pelajar SMA kelas I, ke Hotel Istana Permata Jl Dinoyo. Dalam penangkapan itu, tersangka juga membawa dua anak buahnya, Rez, 17, pelajar SMP kelas III, dan Lil, 14, lulusan SD.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Anom Wibowo mengatakan pihaknya akan terus mencari germo lain yang menyuplai anak di bawah umur bagi lelaki hidung belang. Penyidik sudah mengantongi tujuh nama germo yang kerap memasok anak usia di bawah umur. “Ini pasti ada mata rantainya,” tutur mantan Kasat Pidum Ditreskrim Polda Jatim ini, Sabtu.

Dijelaskan, penyidik sudah mendatangi rumah korban Cit, 17, untuk mengambil akta kelahiran dan kartu keluarga di Lamongan. Namun penyidik harus balik ke Surabaya lagi karena tempat tinggal Cit bukan di Lamongan, tapi di Pagesangan. “Korban sudah kami serahkan ke orangtuanya,”