Senin, 25 Oktober 2010

ANAK BERSUARA MENENTANG PERDAGANGAN MANUSIA

Sedikitnya 1,034 anak (487 laki-laki; 547 perempuan) yang terbagi dalam berbagai kelompok bergerak dari tiga titik menuju Lapangan Kebonagung, Imogiri, Kabupaten Bantul. Yel-yel dengan berbagai seruan menentang perdagangan anak (manusia) saling bersahut-sahutan yang digemakan oleh puluhan kelompok anak dalam karnaval yang mengawali acara ”Temu Anak Nasional: Anak Bersuara Menentang Perdagangan Manusia” yang diselenggarakan oleh Indonesia Against Child Trafficking pada tanggal 21-23 Desember 2008.

Semangat menentang perdagangan anak sangat terasa di seputar lokasi kegiatan. Puluhan spanduk berisi tulisan dan gambar-gambar yang disiapkan oleh panitia dan dibuat oleh anak-anak secara berkelompok terpasang di sepanjang jalan dan terbentang di pinggiran lapangan sebagai batas ruang kegiatan. Instalasi yang menggambarkan penderitaan anak korban perdagangan tersebar di berbagai tempat. Di satu bangunan, terpampang puluhan karya anak yang menggambarkan situasi dan harapan anak-anak. Dua lagu (Ratusan Ribu dan Mari Bergerak) yang diperkenalkan ke seluruh peserta sebelum acara sering terdengar dinyanyikan dengan penuh semangat oleh para peserta dan dilakukan berulang-ulang.

Semangat menentang perdagangan anak

Temu Anak Nasional diikuti oleh perwakilan kelompok anak yang difasilitasi oleh anggota Indonesia ACT yang berada di 10 Propinsi dan anak-anak di seputar lokasi kegiatan. Sebagian besar peserta adalah anak-anak yang pernah mendapatkan diseminasi mengenai ancaman perdagangan anak. Diantaranya bahkan terlibat aktif sebagai peer educator dan terlibat dalam berbagai kampanye menentang perdagangan anak. Kehadiran mereka dipilih dan diseleksi sebagai wakil oleh kelompoknya masing-masing.

Kegiatan ini bagian dari kampanye tahunan untuk memperingati hari diadopsinya protokol Palermo, sekaligus digunakan sebagai promosi tanggal 12 Desember agar ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia.

Acara yang dibuka oleh Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan ditutup oleh pejabat Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia sebagaimana tema yang ditetapkan, membuka ruang sebesar-besarnya bagi anak-anak untuk mengekpresikan diri dan menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas untuk menentang perdagangan anak.

Deklarasi Anak Indonesia

Deklarasi ini kami buat,
dengan harapan agar semua pihak dapat bekerjasama untuk mencegah dan menghapuskan perdagangan anak.

“JANGAN ADA LAGI PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA”

Yogyakarta, 23 Desember 2008
Tertanda
Anak Anak Indonesia

Semangat peserta TAN

Salah satu capaian penting dari acara Temu Anak Nasional adalah terumuskannya ”Deklarasi Anak Indonesia”. Deklarasi ini disusun oleh 24 orang peserta yang mewakili wilayah dan keanggotaan Indonesia ACT. Ada 10 butir pernyataan yang disuarakan oleh anak-anak, yang meliputi: pandangan terhadap perdagangan anak, sikap penentangan, perlunya kerjasama berbagai komponen, kriminalisasi terhadap pelaku, peranan berbagai komponen untuk mencegah dan melindungi anak, serta kewaspadaan anak terhadap ancaman trafiking.

Workshop deklarasi diawali dengan menyamakan persepsi mengenai perdagangan anak. Selanjutnya dengan dipandu fasilitator, para peserta mengidentifikasi faktor-faktor resiko, mengidentifikasi pihak-pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas perlindungan anak, dan mengungkapkan harapan-harapan anak. Proses diskusi dinilai berlangsung sangat baik. Anak-anak terlibat aktif mengemukakan pandangan-pandangannya.

GKR Hemas berdialog dengan peserta TAN

Secara simbolis, deklarasi ini diserahkan kepada seorang tokoh yang dikenal memiliki keperdulian terhadap persoalan-persoalan anak (dan perempuan), yaitu Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan anggota Dewan Perwakilan Daerah di DPR RI. Diharapkan tokoh tersebut dapat mendorong tokoh-tokoh lainnya untuk mendengar suara anak dan menjadi bahan pertimbangan di dalam mengambil kebijakan yang menyangkut kehidupan anak.

Deklarasi ini juga disebarkan ke berbagai media massa dan mailing-list agar gema suara anak dapat lebih terdengar. Namun hal yang terpenting dalam deklarasi ini adalah menjadi salah satu acuan bagi (kelompok) anak-anak sendiri untuk terlibat dalam aksi-aksi menentang perdagangan manusia di wilayahnya masing-masing dan menjadi acuan bagi gerakan anak di tingkat nasional.

Ragam ekspresi Anak

Workshop musik yang menghasilkan lagu-lagu anti perdagangan anak (Dok. SAMIN)

Sharing, diskusi, belajar dan bekerja secara berkelompok adalah metode yang dipakai oleh para fasilitator selama berlangsungnya acara terutama pada pelaksanaan workshop-workshop. Selain perumusan deklarasi, ada tiga workshop yang dilaksanakan yaitu musik, gambar dan teater. Bentuk ekspresi artistik dipilih dengan pertimbangan anak-anak akan lebih menyukainya karena mengandung unsur permainan dan belajar.

Keseluruhan workshop dimulai dengan menyamakan persepsi mengenai perdagangan anak dan sharing pengalaman atas kasus-kasus yang pernah diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang kemudian dituangkan dalam karya.

Workshop gambar berkelompok

Kerja-kerja kelompok menghasilkan karya kolektif di dalam keseluruhan workshop. Workshop musik yang diikuti oleh 97 anak (52 laki-laki; 45perempuan) menghasilkan delapan (8) lagu, workshop gambar yang diikuti oleh 128 anak (63laki-laki; 65 perempuan) menghasilkan 28 gambar kelompok, dan workshop teater yang diikuti oleh 70 anak (18 laki-laki; 52perempuan) menghasilkan lima (5 ) cerita. Keseluruhan karya sangat kental menggambarkan situasi anak korban perdagangan dan sikap penentangan terhadap perdagangan anak. Hasil-hasil Karya anak ini kemudian ditampilkan dan dipamerkan dalam rangkaian acara Temu Anak Nasional.

Selain karya yang dihasilkan dalam workshop-workshop tersebut, para peserta juga sudah mempersiapkan berbagai ekpresi dan pandangan terhadap perdagangan anak yang ditampilkan berupa yel-yel, spanduk bergambar dengan seruan perlindungan anak dan anti perdagangan anak, pembacaan puisi, pementaran teater dan musik, serta tari-tarian.

Partisipasi Anak sebagai Prinsip Kerja

Selamatkan anak-anak!

Temu Anak Nasional bukanlah merupakan puncak dari kegiatan Indonesia ACT yang melibatkan kelompok anak-anak. Kegiatan ini dipandang sebagai langkah awal untuk mempertemukan berbagai kelompok anak terutama yang selama ini terfasilitasi oleh anggota Indonesia ACT. Ruang pertemuan ini diharapkan dapat menjadi ruang sharing, diskusi, belajar dan bekerja bersama sehingga tumbuh kesadaran bahwa ancaman bahaya perdagangan anak terjadi di berbagai tempat dan upaya-upaya untuk mencegah dan mengatasinya juga sudah dilakukan oleh berbagai komponen termasuk anak-anak. Proses ini diharapkan pula dapat berlanjut dengan adanya komunikasi anak antar wilayah yang bisa dijadikan sebagai modal untuk mengorganisir dan mengefektifkan keterlibatan anak-anak yang lebih luas di tingkat nasional.

Indonesia ACT yang sebagian besar anggotanya adalah organisasi yang khusus bekerja pada isu (hak-hak) anak memang sangat menyadari pentingnya keterlibatan anak-anak. Kesadaran ini mengacu kepada hak anak untuk menyampaikan pandangannya (KHA, pasal 12). Oleh karenanya beberapa anggota telah melakukan berbagai uji-coba untuk mengembangkan model/metode, media, dan membuka ruang-ruang bagi anak untuk menyampaikan pandangannya.

Bermain, belajar, bekerja, dan berekspresi bersama-sama (Dok. SAMIN)

Tidaklah mengherankan apabila kesadaran ini turut mempengaruhi kebijakan/keputusan Indonesia ACT. Program yang dirancang untuk periode November 2007 – September 2010 telah memasukkan keterlibatan anak menjadi hal penting untuk menentang perdagangan anak. Bentuk kegiatan yang direncanakan dan sudah dilangsungkan adalah pendidikan komunitas untuk kawan sebaya, yang ditargetkan menjangkau 800 komunitas anak di Indonesia. Kegiatan ini difasilitasi oleh anak dan remaja yang telah dilatih terlebih dahulu. Kegiatan lain yang secara tegas mencerminkan semangat ini adalah pelatihan dan pendidikan komunitas mengenai partisipasi anak dalam isu perdagangan anak. Selain itu, Hal penting yang patut dicatat adalah Indonesia ACT telah menerapkan Child Protection Policy di dalam pelaksanaan kegiatan yang melibatkan anak-anak yang tidak hanya berlaku bagi anggota melainkan juga mitra-mitra anggota yang bekerjasama melaksanakan program Indonesia ACT.

Pada pelaksanaan program Indonesia ACT yang melibatkan anak-anak, tampaknya bagi sebagian besar anggota bukan merupakan hal yang sulit, mengingat kerja-kerja mereka sebelumnya sudah berhubungan dan melibatkan anak-anak. Hal yang terjadi justru inisiatif-inisiatif yang dikembangkan oleh anggota semakin memperkaya model atau cara pelibatan anak-anak yang mengindahkan kepentingan terbaik anak dan memperhatikan hak-hak mereka.

Mengembangkan Partisipasi Anak: Petikan Pengalaman

Diskusi bersama dan belajar menyampaikan pandangan harus dilatih secara terus menerus...

Partisipasi adalah tentang mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan pandangan, mempengaruhi pengambilan keputusan dan menghasilkan perubahan. Partisipasi anak adalah keterlibatan berdasarkan kehendak dan sepengetahuan seluruh anak dalam semua hal yang terkait dengan mereka secara langsung atau tidak langsung, termasuk anak yang paling terpinggirkan dan anak yang berbeda usia dan kemampuan. Partisipasi anak merupakan suatu cara kerja dan prinsip yang penting yang terkait semua program dan berlaku di semua arena – dari rumah ke pemerintah, dari tingkat lokal ke internasional (International Save the Children Alliance, 2005)

Pengertian partisipasi anak yang dirumuskan oleh International Save the Children Alliance di atas menunjukkan arah dari partisipasi anak untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan menghasilkan perubahan di semua tingkatan. Dengan demikian, ini menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi yang bekerja bersama anak agar arah tersebut dapat dicapai.

Di Indonesia, pandangan orang dewasa dan sistem pendidikan yang berlaku masih menempatkan anak-anak sebagai obyek. Anak-anak dinilai sebagai sosok kecil yang perlu dijaga, dikasihani, dan perlu ”diisi” secara terus-menerus agar menjadi ”manusia”. Perlakuan ini menyebabkan potensi anak tidak berkembang. Kecenderungan yang terjadi anak-anak diciptakan menjadi robot-robot yang bergerak atas kontrol para orang dewasa. Ketika dijumpai adanya anak-anak yang aktif menyampaikan pandangan, tidak jarang para orang dewasa, termasuk para guru di sekolah merasa tidak nyaman. Terkadang anak diberi label sebagai ”anak kurang ajar”.

Pada kondisi demikian, agar pandangan anak dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan sebagai perwujudan partisipasi anak, persoalan utama yang harus diatasi adalah menumbuhkan keberanian anak-anak untuk menyuarakan pandangan-pandangannya dan pada saat bersamaan mendorong perubahan sikap para orang dewasa untuk memberikan penghargaan terhadap pandangan-pandangan anak.

Partisipasi anak bukanlah proses yang instan. Ini merupakan proses yang panjang. Melibatkan anak-anak untuk mencegah trafiking tidak sekedar memberikan mereka materi-materi saja. Yang terpenting adalah membangun keberanian mereka terlebih dahulu agar dapat menceritakan persoalan-persoalan dan menyuarakan pandangannya,” Yani Mulyani dari Yayasan Kusuma Buana memberikan penjelasan.

Yayasan Kusuma Buana (YKB) adalah anggota Indonesia ACT yang bekerja di Kabupaten Indramayu yang dikenal sebagai daerah pengirim. Di wilayah kerja mereka ancaman menjadi korban perdagangan anak khususnya untuk tujuan seksual sangat tinggi. Seorang peer educator menggambarkan situasi anak-anak di Indramayu dalam tulisannya:

Memang sudah menjadi tradisi di Desa kami bahwa anak perempuan akan di anggap berbakti kepada orang tua bila sudah bekerja dan menghasilkan uang banyak walaupun ada yang menajdi PSK dan TKW di luar negeri. Tidak sedikit yang pulang dalam keadaan sakit, disiksa tubuhnya dan bahkan ada yang sudah lama tidak menerima gaji yang kemudian di pulangkan majikannya

Yani Mulyani dari YKB

YKB menyadari bahwa penyuluhan ataupun pelatihan kepada anak-anak belum cukup untuk menggerakkan keterlibatan anak. Melalui pertemuan-pertemuan anak, mereka mengkondisikan agar terjadi sharing dan diskusi pembahasan masalah. ”Melalui pertemuan-pertemuan ini anak menjadi terbiasa untuk bersuara sehingga mereka tidak takut lagi ketika bersuara di tempat lain,” tambahan penjelasan Mulyani.

Pada saat bersamaan, YKB aktif melakukan dialog dengan para guru di wilayah kegiatan mereka mengenai hak-hak anak, yang salah satunya adalah menghargai pandangan anak. ”Kalau kita mendorong anak agar berani bersuara, tapi di sekolah guru tidak memberikan kesempatan, maka percuma saja. Oleh karena itu, sekolah juga harus mendukung keberanian anak-anak,”

YKB memanfaatkan program Indonesia ACT untuk mengorganisir peer educator yang berasal dari tiga kecamatan di Kabupaten Indramayu dengan merintis satu Kelompok Pemantau Anak yang bertugas untuk melakukan pemantauan terhadap indikasi trafiking di wilayahnya masing-masing. Mereka juga bertugas untuk memberikan informasi kepada anak-anak, orangtua dan keluarga akan bahaya trafiking yang banyak menimpa anak-anak di wilayah mereka.

Salah seorang peer educator dalam tulisannya menyatakan: ”Pada suatu hari aku sangat bersyukur bisa menceritakan pengalamanku kepada teman sebayaku yang sekolah di SMP cuman dia tidak melanjutkan ke SMA karena dia di paksa ibunya untuk bekerja ke luar negri sekarang temanku itu semakin sadar dia tidak jadi bekerja di luar negri karena dia masih di bawah umur walaupun ibunya masih memaksa dia untuk bekerja.”

Hening Budiyawati, Direktur Yayasan Setara

Kesadaran untuk mengembangkan kapasitas anak terlebih dahulu, juga disadari oleh banyak organisasi yang bekerja bersama anak. Ada berbagai model atau metode yang digunakan untuk menumbuhkan keberanian anak menyampaikan pandangan-pandangannya. Secara umum, penggunaan media ekspresi artistik seperti musik, gambar, tulisan dan teater banyak menjadi pilihan. ”Media ini lebih disukai oleh anak-anak karena ada unsur bermainnya sehingga mereka tidak jenuh untuk terus mengikuti kegiatan,” Hening Budiyawati, Koordinator Setara memberikan alasan.

Ditambahkan oleh Nining S. Muktamar, Direktur Yayasan KAKAK yang menegaskan bahwa ”… kegiatan ini menempatkan anak sebagai subyek, sehingga mereka leluasa untuk mengungkapkan persoalan dan pandangannya.”

Yayasan Setara, anggota Indonesia ACT yang bekerja untuk anak jalanan dan anak-anak korban CSEC dan trafiking yang berpusat di Semarang, telah menggunakan media artistik sebagai pendekatan utama. ”Kita bukan ingin menjadikan anak-anak sebagai seniman, ini hanya sarana bagi anak-anak untuk mengekpresikan dirinya. Hal terpenting adalah proses dialog di dalam kegiatan sehingga anak-anak terbiasa mengenali persoalan dan berani bersuara” tutur Hening Budiyawati.

Yayasan Setara menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan media artistik di ruang-ruang publik tempat para anak jalanan berkumpul dan di sanggar-sanggar yang dibentuk di berbagai perkampungan miskin. Masalah-masalah yang dihadapi anak menjadi bahan pembelajaran untuk didiskusikan dan dituangkan ke dalam karya. Ketika anak-anak dinilai memiliki keberanian, Yayasan Setara memfasilitasi anak untuk berhubungan dengan sebanyak mungkin pihak-pihak di luar komunitas mereka. Kegiatan yang pernah dilakukan antara lain; mendorong anak untuk bekerjasama dengan pihak lain, mendorong kehadiran anak dalam berbagai diskusi atau seminar yang berhubungan dengan kehidupan mereka, mendampingi audiensi anak dengan DPRD tingkat Kota, menyelenggarakan dialog antara anak dengan Walikota, dan sebagainya. Melalui kegiatan-kegiatan itu, anak semakin terlatih untuk menyampaikan pandangan-pandangannya secara lebih baik.

Nining S. Muktamar, Direktur KAKAK-Solo

Yayasan KAKAK yang berpusat di kota Solo, Propinsi Jawa Tengah, dikenal sangat aktif melakukan pendampingan dan advokasi untuk isu CSEC dan trafiking. Yayasan KAKAK memilih teater sebagai media pembelajaran bagi anak-anak untuk mengenali persoalan-persoalannya dan menjadikannya ruang berlatih menyampaikan pandangan-pandangannya. ”Teater membuka banyak ruang bagi anak untuk berekspresi melalui suara, gerak, ataupun hal yang bersifat artistik. Di dalam teater kerjasama merupakan syarat utama dan suasana kekeluargaan dapat terbangun. Selain itu, teater sifatnya santai dan cukup banyak di gemari anak-anak. Ini baik bagi anak-anak,” Nining Muktamar memberikan argumentasinya.

Yayasan KAKAK memandang bahwa media teater bisa juga digunakan sebagai media untuk menyembuhkan trauma-trauma yang dialami para korban. Berbagai model latihan diarahkan agar anak-anak bisa bersikap terbuka, berani menyampaikan persoalan dirinya, dan berani menyampaikan pandangannya. Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak yang mengikuti kegiatan teater, mereka dinilai memiliki kepercayaan diri, tidak takut berhadapan dengan orang di luar komunitasnya, memiliki pandangan dan sikap hidup positif terhadap kehidupan yang dijalani, dan memiliki keberanian untuk menyampaikan ide atau pandangan-pandangannya. Sebagian besar peer educator yang aktif melakukan diseminasi mengenai perdagangan anak pernah terlibat dalam kegiatan teater. Mereka juga tidak ragu-ragu lagi untuk menjadi narasumber dalam acara radio dan televisi.

Workshop Teater dalam TAN

Teater digunakan pula sebagai media untuk menyampaikan situasi anak dan suara anak ke hadapan publik. Pementasan-pementasan dilakukan dengan menampilkan cerita yang diangkat dari kisah nyata mereka. Selama ini pementasan telah dilakukan di berbagai kota baik di sela-sela sebuah acara mengenai anak ataupun acara yang dirancang khusus untuk pementasan tunggal. Pementasan teater cukup menarik bagi kalangan anak-anak dan orang dewasa, baik masyarakat umum maupun para pemangku kepentingan/stakeholders yang terlibat dalam pengambilan kebijakan. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya pengalaman kelompok teater di undang ke berbagai daerah, baik dalam rangka kegiatan komunitas maupun workshop-workshop bagi aparat hukum dan pemerintahan.

Penutup

Konvensi Hak Anak mengatur bahwa Negara harus menjamin anak-anak, yang mampu membentuk pandangannya sendiri, bahwa mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-¬pandangannya secara bebas dalam semua hal yang menyangkut kehidupan anak, dan bahwa pandangan anak diberi bobot sesuai dengan usia dan kematangan anak (pasal 12). Kandungan dalam pasal ini diterjemahkan oleh para aktivis hak-hak anak sebagai ruang bagi ”partisipasi anak” untuk berperan dalam pengambilan keputusan dan perubahan-perubahan yang menyangkut kehidupan anak.

Di tingkat internasional, setelah berlangsungnya Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia untuk Anak di New York tahun 1990, ada peningkatan keikut-sertaan anak dalam acara-acara dan pertemuan-pertemuan internasional yang membahas hak-hak dan kesejahteraan anak. Di tingkat nasional, Indonesia telah mengadopsi kebijakan mengenai partisipasi anak. Dengan demikian, semakin terbuka ruang-ruang bagi anak untuk menyatakan pandangannya dan atau turut berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia ACT untuk mengembangkan berbagai strategi dan metode agar keterlibatan anak-anak di dalam isu perdagangan anak semakin mengemuka.

Berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan program Indonesia ACT, anak-anak memiliki potensi yang besar untuk terlibat dalam berbagai kegiatan dan memiliki kemampuan untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Namun, keterlibatan anak yang memenuhi kriteria partisipasi anak tidak lahir secara tiba-tiba. Pada situasi di mana anak senantiasa ditempatkan sebagai obyek, maka proses pendidikan untuk membangun kesadaran kritis akan realitas kehidupannya harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa membuka kesadaran tersebut, maka pandangan-pandangan mereka akan lebih terpengaruh pada pandangan orang-orang dewasa.

Diskusi bersama, membangun keberanian anak untuk bersuara

Pendekatan kelompok dinilai lebih efektif sebagai sarana latihan anak untuk terbiasa melakukan sharing dan diskusi mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi dan secara bersama-sama mencari solusi pemecahannya. Pendekatan media ekspresi artistik menjadi pilihan yang banyak digunakan karena dinilai lebih disukai anak. Melalui media ini, anak-anak dapat menyuarakan kepentingan-kepentingannya.

Peningkatan kapasitas anak, harus diimbangi dengan mendorong para orang dewasa agar memiliki penghormatan atau penghargaan terhadap pandangan-pandangan anak. Lebih jauh lagi bagaimana pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan anak tidak mengabaikan pandangan-pandangan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar