Minggu, 24 Oktober 2010

catatan kritis atas perda 8/2007

Aliansi Rakyat Miskin

CATATAN KRITIS TERHADAP PERDA No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum

(HASIL REVISI PERDA 11/1988 TENTANG KETERTIBAN UMUM)

Bab dan Pasal Rumusan Catatan Kritis
Bab 1 Pasal 1 Ketertiban Umum adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur Ketentraman umum adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tenteram dan nyaman Berdasarkan rumusan tentang pengertian ketertiban umum dapat dipahami bahwa tolok ukur atau makna ketertiban umum yang menjadi tujuan dari perda ini mengandung pengertian:1. Tercapainya suatu keadaan yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan secara tertib, teratur, tenteram dan nyaman.2. Penilaian atas keadaan tersebut dilakukan tidak hanya oleh Pemerintah tetapi juga oleh Rakyat. Artinya, baik rakyat maupun pemerintah sama-sama bertanggung jawab dan berhak, bukan hanya untuk merumuskan apa artinya ketertiban umum tetapi juga untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan bersama di wilayah DKI Jakarta. Rakyat yang dimaksudkan tentunya adalah keseluruhan/segenap warga dari berbagai kelompok dan golongan. Ini mengandaikan bahwa tidak terdapat kesenjangan dalam hal pemahaman tentang ketertiban umum, antara warga dan Pemda.Yang terjadi, pemahaman tentang ketertiban umum yang tertuang dalam Perda ini bukanlah ketertiban umum yang dirumuskan bersama masyarakat, tetapi ketertiban umum sebagaimana dipahami Gubernur Sutiyoso dan DPRD. Ketertiban umum yang tergambar dalam Perda ini sangat jelas merefleksikan cita-cita Gubernur Sutiyoso yang hendak membersihkan Jakarta dari orang miskin, sebangsa makhluk alien yang berbahaya sekaligus haram.
Bab II Pasal 2, ayat 1-4 Pidana ayat 1-3: Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta Pidana ayat 4:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta 1. Setiap pejalan kaki wajib berjalan di tempat yang telah ditentukan2. Setiap orang yang akan menyeberang jalan wajib menggunakan sarana jembatan penyeberangan/zebra cross yang telah disediakan3. Setiap orang yang akan menggunakan/menumpang kendaraan umum wajib menunggu di halte atau tempat pemberhentian yang telah ditetapkan.

4. Setiap kendaraan umum harus berjalan pada setiap ruas jalan yang telah ditetapkan6. Setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit dan mengoperasikan angkutan umum kendaraan jenis empat yang bermesin dua tak.7. Kendaraan bermotor roda dua atau lebih dilarang memasuki jalur busway8. Setiap orang

1. Perda tidak mewajibkan pemerintah DKI memenuhi hak pejalan kaki untuk mendapatkan fasilitas untuk berjalan secara aman, seperti trotoar, bahu jalan, jembatan penyeberangan atau rambu penyeberangan jalan. Demikian banyak trotoar bagi pejalan kaki yang tidak aman (karena dipakai juga kendaraan bermotor), tidak layak (karena sempit dan rusak), dan di banyak tempat juga terhalang oleh pot-pot besar. (pernyataan ini berpeluang menyerang PKL di trotoar, sebaiknya pasal ini ditiadakan). 2. Tidak ada kewajiban bagi pengguna kendaraan bermotor untuk mendahulukan pejalan kaki yang menggunakan zebra cross. Pasal mempersulit kaum diffable.3. Perda juga tidak mewajibkan pemerintah DKI memenuhi hak pengguna angkutan umum untuk mendapatkan angkutan umum dan fasilitas menunggu yang layak dan aman. Tidak ada larangan bagi beroperasinya angkutan umum yang tidak laik jalan sebagaimana diatur dalam Perda sebelumnya. Sudah diatur di UU Lalu lintas karena tidak mengatur pengguna kendaraan pribadi.

4. Pemerintah DKI juga mengabaikan hak pengguna kendaraan tak bermotor seperti sepeda untuk menggunakan fasilitas jalan yang disediakan publik. Padahal kesadaran warga untuk mengurangi polusi dengan memanfaatkan transportasi non motor mulai tumbuh. Namun pemerintah tak pernah berpikir untuk mengurangi polusi yang membuat Jakarta kota yang tidak nyaman untuk dihuni. Sudah diatur di UU Lalu lintas karena tidak mengatur pengguna kendaraan pribadi. Memberi peluang konflik antar polisi dan tramtib.

6 Meniadakan lapangan kerja bagi bajaj, bemo,ojek motor lama yang berpeluang meningkatkan pengangguran.

7 Bertentangan dengan UU Lalu Lintas dalam maalah kewenangan pengatur lalu lintas.

8 Ayat 7 berpeluang memperparah kemacetan dan memberi peluang ke pemerintah untuk memperlebar jalan dan melakukan penggusuran.

9 Meniadakan lapangan kerja bagi ojek tambang. Seluruh pasal ini mengatur dan mewajibkan warga sebelum pemerintah menyediakan fasilitas.

Bab II Pasal 2 ayat 6 Pidana utk yg merakit: Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana utk yg mengoperasikan:
Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta
Setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit, atau mengoperasikan angkutan umum kendaraan jenis empat yang bermesin dua tak (bajay dan mobec, dan sejenisnya) Warga tak bisa lagi mendapatkan transportasi publik alternatif yang relatif murah untuk jarak tempuh yang relatif pendek atau di lokasi pemukiman yang tidak terdapat kendaraan umum (metromini, angkot, bis kota, busway). Sebab Perda melarang beroperasinya bajay. Perda sebelumnya melarang beroperasinya becak, kini bukan hanya becak yang dilarang tetapi juga bajay (dan ojek). Dalam kondisi seperti ini warga hanya punya dua pilihan: 1) berjalan kaki atau 2) naik taksi. Bagi masyarakat ekonomi lemah yang tidak bisa mengakses taksi, tak ada cara lain selain jalan kaki. Perda semacam ini jelas menyengsarakan, bukan hanya bagi warga yang penghasilannya bergantung pada bajay, tetapi juga warga yang tidak bisa mengakses taksi sebagai angkutan umum alternatif.
Pasal 4 ayat 1-3 Pidana ayat 1 dan 3: Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana ayat 2: Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta i. Setiap orang yang menggunakan kendaraan roda 4 (empat) di kawasan pengendalian lalu lintas dilarang membawa orang/penumpang kurang dari 3 (tiga) orang pada jam-jam tertentu yang ditetapkan. ii. Setiap orang dilarang menawarkan diri menjadi joki di pinggir jalan kepada pengendara kendaraan roda 4 (empat) yang akan memasuki kawasan pengendalian lalu lintas iii. Setiap orang yang menggunakan kendaraan roda 4 (empat) yang akan memasuki kawasan Penggunaan joki di kawasan pengendalian lalu lintas pada waktu-waktu tertentu membuktikan bahwa pengendalian lalu lintas dengan cara ini kurang mencapai tujuan. Semestinya Pemprov DKI mengkaji hal ini dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif. Proporsi kendaraan pribadi yang mencapai lebih dari 89% perlu dikendalikan dengan cara-cara yang lebih menjawab masalah. Misalnya, meninggikan pajak kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas dan kuantitas sarana angkutan umum.Atau pengendalian dilakukan di semua kawasan, bukan hanya di kawasan-kawasan tertentu Larangan dan ancaman pidana tidak menjamin efektivitas aturan bila sistemnya masih membuka peluang korupsi bagi aparat penegak hukum. Aturan hukum dalam sistem seperti ini hanya akan membuat hukum semakin tidak berwibawa.
Pasal 6 Pidana:Kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta Setiap orang atau badan dilarang memanfaatkan ruang terbuka di bawah jembatan atau jalan layang kecuali mendapat ijin dari gubernur. (Ijin gubernur hanya diberikan untuk kepentingan umum, seperti gardu listrik dan hydrant pemadam) Fasilitas publik di Jakarta yang selama ini banyak mengkonsumsi ruang, seperti toll, jembatan layang, dan juga mall, pada kenyataannya tidak terkait dengan hidup dan kesejahteraan rakyat miskin. Fasilitas tersebut condong diperuntukkan bagi kalangan berduit. Sementara kaum ekonomi lemah yang tidak mendapatkan ruang kehidupan selama ini menempati ruang-ruang marjinal atau ruang-ruang sisa, salah satunya adalah ruang terbuka di bawah jembatan atau jalan layang. Kini Perda ini menyingkirkan warga miskin dari ruang-ruang sisa ini. Perda semacam ini jelas mengusir warga miskin dari Jakarta karena tata ruang di Jakarta ini tidak memberi hak warga miskin untuk mendapatkan ruang tempat tinggal dan tempat bekerja.
Pasal 7 ayat 1 dan 2 Pidana ayat 1:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta Pidana ayat 2:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta (1) Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa (2) Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pungutan uang terhadap kendaraan umum maupun angkutan barang 1. Dengan aturan ini Pemprov DKI hendak mengkriminalkan kerja “polisi cepek” atau “pak ogah”. Larangan ini melupakan akar masalah munculnya pak ogah adalah kesemrawutan dan kemacetan. Tanpa menghilangkan kesemrawutan dan kemacetan, orang-orang yang berperan sebagai pak ogah akan selalu muncul karena masyarakat sendiri juga terbantu oleh kehadiran mereka. 2. Pungutan dilakukan oleh pihak berwenang atau tidak, pada kenyataannya kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang banyak dibebani oleh tingginya pungutan yang dibebankan pihak berwewenang pada mereka, yang seringkali tidak transparan. Yang terjadi seringkali adalah banyaknya pungutan yang dilakukan oleh orang-orang berseragam, sehingga tidak jelas lagi siapa yang berwewenang untuk memungut. Semestinya Pemprov DKI memikirkan mekanisme penarikan pajak yang tidak memberi peluang adanya pungutan-pungutan liar.
Pasal 9 Pidana: Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta Setiap orang yang menumpang kendaraan umum dilarang: (a) membuang sampah, (b) membuang kotoran permen karet, (c) meludah, (d) merokok Pemprov DKI tidak mewajibkan pemiliki/pengelola kendaraan umum untuk menyediakan fasilitas pembuangan sampah
Bab III pasal 12, butir c, d, dan h Pidana Pasal 12 c:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana Pasal 12d:Kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta Pidana Pasal 12 h:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta Kecuali untuk kepentingan dinas, setiap orang atau badan dilarang :b. Bertempat tinggal di jalur hijau, taman dan tempat-tempat umumc. Menyalahgunakan atau mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umumh. Berjongkok dan berdiri di atas bangku taman serta membuang sisa permen karet pada bangku taman 1. Pasal ini membuka peluang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penyelewengan dalam bentuk penyalahgunaan atau pengalihan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum demi kepentingan dinas, seperti yang telah terjadi selama ini. Padahal dengan kondisi Jakarta yang ruang terbukanya hanya 9% (dari yang semestinya 30% untuk kota yang sehat), alih fungsi jalur hijau dan taman semestinya dilarang dengan alasan apapun.2. Pengecualian untuk kepentingan dinas yang tertuang pada butir c bertentangan dengan pasal 20 yang melarang semua orang atau badan untuk bertempat tinggal di jalur hijau, taman dan tempat umum. 3. Ada yang lucu dan tidak masuk akal dengan pasal ini. Kepentingan dinas macam apa yang:- Membuat aparat pemerintah harus bertempat tinggal di jalur hijau, taman dan tempat umum?- Membuat aparat berjongkok dan berdiri di atas bangku taman serta membuang sisa permen karet pada bangku taman?
Bab IV pasal 13 ayat (1) Pidana :Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Kecuali dengan izin gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang: (1) membangun tempat mandi cuci kakus, hunian/tempat tinggal atau tempat usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan setu, waduk dan danau Di berbagai kota di dunia, penataan kawasan sungai, setu, waduk dan danau dilakukan tidak dengan menggusur warga yang ada, tetapi dengan melibatkan mereka sebagai subyek atau pelaku utama yang turut bertanggung jawab dalam melakukan penataan dan menjaga kebersihan dan keberlangsungan layanan alam dari sungai, waduk, setu dan danau. Dalam hal ini semestinya pemerintah bertindak sebaai fasilitator pemberdayaan warga agar warga dapat menjalankan perannya sebagai pelaku utama penataan dan penjaga kebersihan serta keberlangsungan layanan alam di lingkungan sungai, waduk, setu dan danau. Tindakan pengusiran atau penggusuran selama ini terbukti tidak menyelesaikan masalah dan hanya memindahkan masalah di tempat lain
Bab V pasal 20 Pidana:Kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta Setiap orang atau badan dilarang membangun dan/atau bertempat tinggal di pinggir dan di bawah jembatan layang, rel kereta api, di bawah jembatan tol, jalur hijau, taman dan tempat umum Fasilitas publik di Jakarta yang selama ini banyak mengkonsumsi ruang, seperti toll, jembatan layang, dan juga mall, pada kenyataannya tidak terkait dengan hidup dan kesejahteraan rakyat miskin. Fasilitas tersebut condong diperuntukkan bagi kalangan berduit. Sementara kaum ekonomi lemah yang tidak mendapatkan ruang kehidupan layak di Jakarta selama ini menempati ruang-ruang marjinal atau ruang-ruang sisa, salah satunya adalah ruang terbuka di bawah jembatan tol atau jalan layang, pinggir sungai atau rel kereta api. Kini dengan Perda Ketertiban pemerintah DKI hendak menyingkirkan warga miskin dari ruang-ruang sisa ini tanpa alternatif. Perda semacam ini jelas mengusir warga miskin dari Jakarta karena tata ruang di Jakarta ini tidak memberi hak warga miskin untuk mendapatkan ruang tempat tinggal dan tempat bekerja. Pasal-pasal yang menyingkirkan warga miskin dari ruang-ruang sisa ini kian menunjukkan bahwa Pemprov DKI membangun Jakarta untuk yang kaum berpunya. Lihat saja betapa fasilitas dan infrastruktur yang dibangun Pemprov lebih banyak berorientasi pada kebutuhan golongan kaya.
Pasal 21 butir b dan c Pidana:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan Setiap orang atau badan dilarang: (b) membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan; (c) membuang air besar dan kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan saluran air Larangan seperti ini tidak akan jalan sepanjang tidak ada aturan yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan fasilitas MCK di tempat-tempat tersebut.
Pasal 23 Pidana ayat 1:Kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta (1) Setiap pengambilan air permukaan tanah dan air tanah untuk keperluan air minum komersial, industri, peternakan dan pertanian, irigasi, pertambangan dan untuk kepentingan lainnya yang bersifat komersial hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat ijin gubernur atau dari pejabat yang ditunjuk; (2) Ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari ijin pemboran air tanah dan ijin pemakaian air tanah dan air permukaan Jakarta menghadapi tingginya intrusi air laut yang kini berdampak semakin menurunnya permukaan tanah. Dalam hal ini semestinya Pemprov DKI sudah mulai mengatur dan menertibkan penggunaan air tanah, bukan hanya untuk kepentingan komersial tetapi juga kepentingan rumahtangga. Sudah waktunya pengeboran air tanah dikendalikan dan dihentikan. Pengeboran air tanah dan distribusinya sudah waktunya dikelola oleh negara. Mempertimbangkan tingginya intrusi laut di wilayah DKI dan ancaman krisis air bersih di Jakarta, sudah saatnya air tanah dikelola negara dan dalam hal ini pemerintah bersama masyarakat harus bekerjasama untuk membuat langkah-langkah konservasi demi keberlangsungan ketersediaan air tanah.
Bab VI Pasal 24 Pidana ayat 1:Kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta (1) Setiap orang atau badan yang dalam melakukan kegiatan usahanya menimbulkan dampak terhadap lingkungan wajib memiliki izin tempat usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan(2) Pemberian ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur atau pejabat yang ditunjuk setelah memenuhi persyaratan 1. Dengan aturan ini pemerintah membuka peluang beroperasinya perusahaan atau industri yang jelas-jelas akan berdampak merusak lingkungan. Padahal kondisi Jakarta dengan lingkungan yang sudah rusak dan tercemar sudah tidak layak sebagai tempat beroperasinya industri yang jelas-jelas merusak lingkungan. Sanksi yang ringan jelas tidak sebanding dengan resiko kerusakan yang harus ditanggung masyarakat. 2. Dengan pasal ini jelas sekali sikap Pemprov DKI yang diskriminatif terhadap kelompok miskin. Terhadap usaha-usaha kelompok miskin yang diduga merusak lingkungan (seperti berusaha dan tinggal di bantaran kali dan di bawah jembatan layang atau jembatan tol dan di jalur hijau) sepenuhnya dilarang tanpa ada klausul persyaratan tertentu. Sementara untuk usaha-usaha komersial lainnya yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan Pemprov DKI memberi peluang dengan persyaratan tertentu.
Pasal 25 Pidana ayat 2 dan 3:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan i. Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki limaii. Setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lainnya di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) iii. Setiap orang dilarang membeli barang dagangan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 1. Perda ini tidak mengatur ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 25 ayat 1. Jadi kalau gubernur tidak menjalankan kewajibannya menetapkan tempat usaha untuk pedagang kaki lima, gubernur tidak dikenai ancaman pidana2. Dari ayat 1 ini bisa dilihat bahwa ruang untuk PKL adalah “ruang-ruang sisa”, di mana ada atau tidaknya ruang tersebut sangat bergantung pada “selera” gubernur dan tidak didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan warga. Tidak ada mekanisme partisipasi publik dalam menentukan lokasi usaha untuk PKL3. Sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin dan sektor informal terlihat dari alokasi ruang usaha bagi usaha kecil menengah, termasuk PKL. Berbeda dengan alokasi ruang komersial untuk usaha besar macam pusat perbelanjaan/mall, pemberian tempat untuk usaha kecil menengah tidak dieksplisitkan dalam rencana tata ruang, tetapi lebih didasarkan pada “belas kasih” gubernur. Aturan yang menetapkan 20% ruang bisnis dan perkantoran untuk usaha kecil menengah juga tidak direalisasikan.

4. Alokasi ruang usaha untuk usaha kecil menengah, termasuk PKL tidak pernah transparan dan terbuka sehingga dapat diketahui lokasi-lokasi mana saja yang bisa diakses oleh para PKL. Tiadanya transparansi ini membuka peluang terjadinya KKN.

5. Mayoritas warga Jakarta yang berdaya beli lemah, di manapun mereka berada, termasuk yang bekerja di sektor formal sekalipun, pada kenyataannya bergantung pada keberadaan sektor informal. Larangan terhadap setiap orang untuk membeli barang dari PKL akan menyengsarakan warga yang hanya mampu membeli barang dari PKL, termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk makan.

6. Pemerintah DKI Jakarta benar-benar menutup mata terhadap realitas bahwa menghapus sektor informal dari Jakarta tidak pernah berhasil. Pemprov DKI juga menutup mata terhadap sumbangan sektor informal bagi pengembangan kota. Kota-kota besar di dunia, khususnya di Asia, telah belajar banyak dari kegagalan mereka untuk menghapus informalitas dengan kebijakan yang lebih partisipatif, yaitu penataan, baik lokasi di tempat-tempat tertentu, waktu berdagang maupun integrasinya dengan sektor formal. Bandingkan dengan pengalaman Bangkok dan Singapura, yang memilih kebijakan menata dan bukan menggusur sektor informal macam PKL. Baik Singapura maupun Bangkok mampu mewujudkan kota yang bersih sekaligus menjadikan PKL sebagai daya tarik industri pariwisata mereka. Sementara Jakarta cenderung melihat sektor informal macam PKL sebagai musuh kota. Toh dengan anggaran milyaran rupiah Jakarta tetap tak mampu mengusir PKL.

Pasal 27 ayat 1,2, dan 3 Pidana pasar 27:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan (1) Setiap orang/badan dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali di tempat-tempat yang telah diijinkan oleh pejabat berwenang yg ditunjuk gubernur(2) Setiap orang/badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat umum kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh gubernur(3) Setiap orang dilarang membeli barang dagangan dan menerima selebaran sebagaimana dimaksud ayat 2 1. Dengan pasal ini Pemprov DKI melarang segala bentuk usaha kaum miskin di ruang-ruang marjinal di mana kaum miskin hidup dan bekerja, baik PKL, pengasong, warung atau usaha lainnya. 2. Larangan berusaha di ruang-ruang marjinal diperkeras oleh adanya ancaman bagi warga lain yang membeli barang dari mereka yang berdagang3. Bagaimana mungkin di taman tidak ada pedagang?
Bab VI Tertib Tempat dan Usaha Tertentu Dalam bab ini tak ada pasal yang mengatur tentang kegiatan usaha skala besar seperti mall, hipermarket dan pusat perbelanjaan yang bermodal besar. Padahal usaha dengan modal besar semacam ini telah banyak mengambil ruang fisik dan pasar dari usaha-usaha kecil dan menengah, berupa pasar tradisional, warung-warung di permukiman dan juga PKL. Usaha retail dengan modal besar telah merambah sampai ke perumahan-perumahan warga dan mematikan usaha-usaha kecil yang menjadi sumber kehidupan warga. Di samping itu, tiadanya pengaturan dan pengendalian terhadap usaha skala besar semacam ini telah berdampak pada meningkatnya kemacetan dan rusaknya lingkungan akibat alih fungsi jalur hijau Padahal usaha skala besar semacam ini hanya bisa diakses oleh kalangan berduit. Tidak adanya pengaturan dan pengendalian atas usaha skala besar semakin menguatkan betapa Perda Ketertiban ini diskriminatif terhadap kelompok miskin. Usaha kecil menengah dibatasi dan ditertibkan sedemikian rupa, sementara usaha skala besar dibiarkan merajalela sedemikian rupa sehingga mematikan usaha-usaha kecil warga dan menciptakan kemacetan dan memperluas daerah banjir di ibukota.
Pasal 28 ayat 1 dan 2 Pidana ayat 1:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana ayat 2:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan (1) Setiap orang/badan dilarang melakukan pekerjaan atau bertindak sebagai perantara karcis kendaraan umum, pengujian kendaraan bermotor, karcis hiburan dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis tanpa izin dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk(2) Setiap orang atau badan dilarang memanfaatkan/mempergunakan perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dengan pasal ini Pemprov DKI hendak memberantas percaloan, namun upaya memberantas calo ini dilakukan dengan cara “melegalkan” kerja para calo. Pelegalan calo ini hendak dilakukan Pemprov DKI dengan mekanisme perijinan. Kerja calo yang berperan sebagai perantara yang semula ilegal dan kriminal akan menjadi sah/legal bila mendapatkan ijin dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 29 ayat 1, 2, dan 3 Pidana ayat 1 c:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana ayat 3:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan Pidana ayat 4:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta (1) Setiap orang atau badan dilarang: (a) melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya; (b) mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya; (c) mengusahakan kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagai sarana angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan(2) Kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (c) dapat dijadikan sebagai sarana angkutan umum setelah mendapat ijin dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk(3) Setiap orang dilarang menggunakan menggunakan jasa kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (c) kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mendapat ijin dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk

(4) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan jasa angkutan kendaraan umum wajib mengoperasikan (sejumlah 5%) kendaraan umum pada malam hari, yang pengaturannya ditetapkan oleh gubernur atau pejabat yang ditunjuk

1. Pemerintah bukan hanya berkehendak untuk menghapus becak, tetapi juga melarang/membatasi ojek (motor dan sepeda) dan kendaraan berplat hitam yang dioperasikan sebagai kendaraan umum. Dengan cara ini pemerintah menutup mata terhadap akar persoalan transportasi di Jakarta, di mana kendaraan yang berada di jalanan ibukota lebih dari 90% adalah kendaraan pribadi. Angkutan umum tidak memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Jumlah kendaraan pribadi semakin meningkat tanpa ada pengendalian yang memadai selain dari pengaturan melalui jalur three in one. Munculnya ojek sebagai kendaraan alternatif di tengah kemacetan tak bisa dihapuskan begitu saja tanpa ada pengaturan/pengendalian jumlah kendaraan pribadi dan peningkatan kuantitas dan kualitas kendaraan umum. 2. Munculnya kendaraan plat hitam yang dioperasikan sebagai kendaraan umum juga tidak terlepas dari minimnya kendaraan umum yang beroperasi di malam hari. Solusi masalah yang diwujudkan dalam bentuk pelarangan jelas tidak akan menjawab masalah dan karenanya tujuan ketertiban yang hendak dicapai juga tidak mencapai sasaran. Pemprov DKI tidak pernah berpikir untuk terlebih dahulu menyediakan fasilitas publik yang memadai dan kemudian baru menerapkan penertiban atau pelarangan. 3. Aturan yang membatasi ojek (motor dan sepeda) tanpa disertai dengan pembatasan jumlah kendaraan pribadi dan peningkatan fasilitas kendaraan umum selain kecil peluang keberhasilannya juga merupakan salah satu wujud diskriminasi pemerintah terhadap warga miskin dan kelompok ekonomi lemah4. Pengoperasian 5% kendaraan umum di malam hari juga tidak didasarkan pada perhitungan akurat terhadap kebutuhan warga akan transportasi di malam hari. Perhitungan yang tidak akurat tidak akan berdampak pada berkurangnya atau hilangnya kendaraan umum berplat hitam, yang seringkali lebih memadai kualitasnya dibandingkan kendaraan umum yang tersedia.
Pasal 30 ayat 2 Pemotongan hewan ternak dapat dilakukan di luar rumah pemotongan hewan untuk keperluan peribadatan atau upacara-upacara adat setelah mendapat ijin dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk 1. Dengan pasal ini Pemprov DKI sengaja atau tidak telah membatasi kegiatan warga untuk menjalankan kegiatan peribadatan. Sebab warga yang hendak menjalankan peribadatan, di mana untuk itu perlu pemotongan hewan, warga harus terlebih dahulu meminta ijin pada gubernur atau pejabat yang ditunjuk. 2. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Pemprov DKI akan menjalankan mekanisme ijin bagi warga yang akan melakukan pemotongan hewan untuk peribadatan.
Pasal 31 ayat 1 dan ayat 3 Pidana ayat 1:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan Pidana ayat 3:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta (1) Setiap orang atau badan yang melakukan tata niaga daging wajib mencantumkan label halal. (Pencantuman label halal dapat dilakukan pada kemasan, lokasi usaha (kios) atau ditempelkan pada pintu, kaca, dan/atau pada tempat lain yang mudah dilihat dan dibaca oleh konsumen muslim). (3) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan usaha restoran/rumah makan wajib mencantumkan label halal 1. Aturan ini rumusannya tidak jelas dan bisa disalahpahami. Warga bisa memahami bahwa di wilayah Jakarta tidak diperbolehkan melakukan tata niaga daging yang dikategorikan tidak halal. Juga setiap rumah makan dan restoran tidak boleh menjual makanan yang berkategori tidak halal. Sebab dalam pasal 61 yang mengatur ketentuan pidana, mereka yang tidak mencantumkan label halal akan dikenakan ancaman pidana. 2. Apabila pasal ini memang dimaksudkan untuk memaksa setiap orang atau badan yang menyelenggarakan usaha restoran/rumah makan untuk menjual hanya makanan berkategori halal, maka Perda ini telah diskriminatif terhadap penganut agama lain3. Persoalan agama di negeri ini sangatlah sensitif dan aturan yang tidak jelas rumusannya akan dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan memicu konflik.
Pasal 35 Pidana:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Setiap orang/badan dilarang melakukan usaha pengumpulan, penampungan barang-barang bekas dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran serta mengganggu ketertiban umum Dengan aturan ini, Pemprov DKI hendak mengusir para pemulung dari wilayah DKI Jakarta. Padahal pemulung selama ini telah berjasa dalam mengurangi volume sampah di wilayah DKI Jakarta. Tanpa peran pemulung Jakarta akan lebih kewalahan lagi dalam mengelola sampah. Alih-alih memfasilitasi pemulung agar mereka dapat bekerja secara lebih aman bagi diri dan lingkungan, Pemprov DKI lebih memilih untuk mengusir mereka dari wilayah DKI Jakarta. Pengusiran ini didasarkan pada alasan “pencemaran”. Ini salah satu bukti lagi sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin yang hidupnya bergantung pada pemanfaatan barang-barang bekas. Bandingkan dengan aturan yang ditujukan bagi orang atau badan yang dalam berusaha menimbulkan dampak bagi lingkungan tetap diberi peluang untuk berusaha di Jakarta dengan syarat tertentu (Lihat pasal 24). Sementara bagi kelompok seperti pemulung atau pedagang barang bekas Pemprov sama sekali menutup peluang.
Pasal 36 ayat 1 b dan c, serta ayat 2 Pidana ayat 1 dan 2:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta (1) Setiap orang atau badan dilarang : (b) mendirikan bangunan pada ruang milik jalan, ruang milik sungai, ruang milik setu, ruang milik waduk, ruang milik danau, taman dan jalur hijau, kecuali untuk kepentingan dinas; (c) mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api dan di bawah jembatan kereta api(2) Setiap orang atau badan wajib menjaga serta memelihara lahan, tanah, dan bangunan di lokasi yang menjadi miliknya 1. Ayat 1 butir (b) dan (c) ini lebih ditujukan untuk menyingkirkan kaum miskin yang menghuni ruang-ruang marjinal karena kaum miskin tak memiliki tempat di ruang kota. Tak ada skema dalam tata ruang kota yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau ruang berusaha kelompok marjinal dan ekonomi lemah. 2. Ayat 2 ini dimaksudkan untuk menghindarkan okupasi lahan oleh kelompok marjinal. Perda ini mengharuskan pemilik lahan untuk menjaga tanah miliknya sendiri. Dengan cara ini Pemprov DKI hendak memastikan bahwa tidak ada lagi tempat untuk kaum miskin dapat tinggal dan bekerja di Jakarta karena setiap jengkal ruang yang memungkinkan mereka bekerja dan bertempat tinggal sudah dipagar oleh aturan-aturan yang melarang dan menyingkirkan kaum miskin secara legal.3. Pemprov DKI menertibkan okupasi lahan oleh kaum marjinal tetapi tidak menertibkan penguasaan lahan berlebihan yang kemudian dibiarkan terlantar oleh golongan kaya.
Bab VIII pasal 40 butir a, b dan c Pidana pasal 40 a:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana pasal 40 b dan c:Kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan Setiap orang atau badan dilarang: (a) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (b) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (c) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil 1. Pemprov memiliki asumsi bahwa ada mafia yang mengorganisir kaum miskin yang dipekerjakan sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Pasal ini juga didasarkan pada stigma bahwa para pengemis itu adalah orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Pemda DKI menutup mata pada realitas bahwa mereka menjadi pengemis karena desakan kebutuhan hidup dan minimnya peluang kerja. 2. Dengan aturan ini Pemprov DKI benar-benar hendak menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin. Karena seluruh jenis kegiatan dan pekerjaan yang masih mungkin dilakukan kaum miskin untuk dapat bertahan hidup dikriminalkan dan dikenai ancaman pidana. Menjadi pengemis diancam pidana, tetapi bekerja secara halal dengan kekuatan dan modal sendiri pun juga dikriminalkan. Bukan hanya itu. Warga yang membeli barang dari mereka atau sekedar memberi sedikit uang recehan pun dikenakan ancaman pidana. 3. Perda ini mengajak seluruh warga masyarakat untuk bersama-sama menghukum orang miskin, sebab dengan Perda ketertiban ini orang miskin di wilayah DKI ini telah ditetapkan sebagai makhluk ilegal atau sebangsa alien yang mengancam kehidupan kota, sehingga membeli barang dari mereka atau sekedar bersimpati pada mereka dengan sedikit uang recehan dianggap sebagai tindakan ilegal dan bersekutu dengan musuh kota dan karenanya pantas dikenakan ancaman pidana.

4. Yang mengherankan adalah premanisme tidak disentuh dalam Perda ketertiban ini. Barangkali di wilayah Jakarta status dan peran preman lebih baik dari PKL, pedagang asongan, pengelap mobil, tukang ojek, tukang becak, apalagi pemulung dan pengemis. Sebab dalam menggusur orang miskin, Pemprov DKI selama ini sering menggunakan preman.

Pasal 42 ayat (2) Pidana ayat 2 b dan c:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Pidana ayat 2 a:Hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan Setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial 1. Masalah identifikasi pekerja seks 2. Larangan untuk menjadi penjaja seks komersial tanpa adanya rumusan tempat akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Bagaimana pihak Pemprov DKI ini mengetahui siapa-siapa penjaja seks? Atas dasar apa Pemprov DKI akan menangkap mereka-mereka yang dituduh menjadi pekerja seks. Ketidakjelasan ini akan menimbulkan masalah salah tangkap dan kekerasan pada warga yang tidak bersalah. Bila pekerjaan sebagai pekerja seks itu dilakukan di jalanan atau tempat terbuka lainnya, Pemprov DKI bisa jadi akan mudah mengontrolnya. Namun bila pekerjaan sebagai pekerja seks itu dilakukan di tempat-tempat tertutup, maka pelaksanaan pasal ini akan rentan melanggar hak warga lainnya.
Bab XI Tertib Peran Serta Masyarakat Perda ini mereduksi pengertian tentang peran serta masyarakat hanya sebatas penyampaian pendapat, unjuk rasa atau pengerahan massa.
Pasal 56 Pidana pasal 56:Kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta Setiap orang yang bermaksud tinggal dan menetap di Provinsi DKI Jakarta wajib memenuhi persyaratan administrasi kependudukan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (Persyaratan yang harus dipenuhi antara lain: a) memiliki identitas diri yang jelas, b) membawa surat pindah dari daerah asal, c) memiliki surat keterangan catatan kepolisian dari daerah asal, d) memiliki ketrampilan dan keahlian, e) memiliki jaminan tempat tinggal dan jaminan kerja, f) mengurus administrasi kependudukan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melalui kelurahan paling lambat 14 hari setelah kedatangan.) 1. Aturan dalam pasal ini jelas-jelas dimaksudkan untuk membatasi peluang kaum miskin dan mereka yang bekerja di sektor informal untuk mendapatkan KTP Jakarta dan menjadi warga Jakarta yang legal. Terlihat dari beberapa persyaratan seperti memiliki ketrampilan dan keahlian, memiliki jaminan tempat tinggal dan jaminan kerja. Dengan menutup peluang bagi kaum miskin dan mereka yang bekerja di sektor informal untuk mendapatkan KTP DKI, maka Pemprov DKI melegalkan tindakan kekerasan dan penelantaran terhadap kaum miskin dan mereka yang bekerja di sektor informal dengan dalih “mereka bukan warga Jakarta”. 2. Rumusan persyaratan “memiliki ketrampilan dan keahlian” sebagai persyaratan administrasi untuk tinggal dan menetap di Jakarta tidaklah jelas. Perlu penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksudkan dengan trampil dan ahli ini. Demikian juga dengan pengertian “jaminan tempat tinggal dan jaminan kerja”, apakah ini berarti orang harus punya rumah dan apakah kerja di sini terkait dengan persyaratan “trampil dan ahli”3. Persyaratan administrasi kependudukan yang dikenakan bagi warga yang ingin tinggal menetap di Jakarta semakin menegaskan bahwa Jakarta memang khusus untuk kaum berpunya yang jelas-jelas memiliki ketrampilan dan keahlian, memiliki jaminan tempat tinggal dan jaminan kerja.
Pasal 59 Pidana ayat 3:Dikenakan hukuman disiplin kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (1) Setiap orang atau badan yang melihat, mengetahui dan menemukan terjadinya pelanggaran atas ketertiban umum harus melaporkan kepada petugas yang berwenang(2) Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(3) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menindaklanjuti dan memproses secara hukum terhadap laporan yang disampaikan oleh orang atau badan

Dengan rumusan “harus melaporkan”, Pemprov DKI hendak memaksa warga untuk berperan serta dalam melaksanakan Perda ketertiban ini. Pemaksaan warga untuk berperan serta sebagai “pengawas” dan “melaporkan” bila ada pelanggaran, mengandaikan tidak adanya kesenjangan visi dan pemahaman tentang ketertiban umum antara warga dan Pemprov DKI. Bila visi dan pemahaman warga berbeda dengan visi dan pemahaman Pemprov DKI, sulitlah diharapkan warga akan berperan serta. Apalagi dalam membuat Perda ini Pemprov tidak menjalankan prosedur konsultasi publik dan tidak mendengarkan aspirasi warga. Selaman ini warga sudah diposisikan sebagai obyek dan banyak dirugikan oleh keputusan-keputusan Pemprov DKI yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Kini secara tiba-tiba warga diharuskan berpartisipasi menjalankan Perda demi kepentingan publik. Masuk akalkah? Besar kemungkinan bahwa untuk menjalankan Perda ketertiban ini Pemprov DKI akan harus merekrut dan mengerahkan semakin banyak Satuan Polisi Pamong Praja untuk melakukan kerja-kerja pengawasan dan penertiban. Kalau tidak, seperti halnya Perda 11/1988, ketertiban umum yang dicita-citakan tinggal menjadi cita-cita karena visi dan pemahaman Pemprov dan DPRD DKI tentang ketertiban umum berbeda dengan visi dan pemahaman masyarakat.
Bab XIII Pasal 60 ayat (1), ayat (2) butir (i), dan ayat 3) (1) Selain pejabat Polisi Negara RI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan pemerintahan daerah. (2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk: (i) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan(3) Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan dan/atau penahanan 1. Ayat 2 butir (i) memberi peluang pada aparat Pemprov DKI untuk melakukan tindakan sewenang-wenang karena aparat Pemprov DKI mendapat wewenang untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus penggusuran dan pengusiran kaum miskin, selama ini aparat Pemprov DKI banyak melakukan tindakan kekerasan dan juga pembakaran tanpa mendapatkan sanksi. Karenanya tindakan kekerasan oleh aparat Pemprov dianggap sebagai tindakan yang sah dan bukan pelanggaran.2. Perda ketertiban ini tidak berbicara tentang pelanggaran dalam hal penyidikan, khususnya pelanggaran terhadap pasal 60 ayat 3 tidak ada ketentuan tentang sanksi pidana bagi PPNS yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini adalah melakukan tindakan penangkapan dan/atau penahanan.

3. Tidak adanya ketentuan pidana bagi pelanggaran yang dilakukan aparat/pejabat Pemprov DKI menunjukkan bahwa Perda ini mempunyai peluang besar untuk gagal karena Perda ketertiban ini membuka peluang bagi Pemprov DKI untuk melanggar ketertiban tanpa ancaman sanksi pidana. Kalau aparat penegak, pembina dan pengendali ketertiban sendiri sudah tidak tertib, tidak masuk akal kalau kemudian Pemprov DKI menuntut warganya untuk tertib?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar