Minggu, 24 Oktober 2010

Dampak Kemunculan Pasar Modern

Banyaknya ditemukan hipermarket dan supermarket sebagai wujud pasar modern- telah menyisakan dampak serius. Walaupun, ada yang menilai bahwa kemunculan pasar modern dinilai menguntungkan, tetapi hal itu tidaklah signifikan. Mislanya untuk konsumen, ia diuntungkan karena semakin tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan, karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik.

"Keuntungan" itu sebenarnya tidaklah sebanding dengan kerugian yang muncul. Bagi konsumen, justru telah terjadi pola hidup konsumerisme yang negatif. Dalam bidang persaingan antar retailer, justru telah menggiring para pengusaha dengan modal kecil ke dalam jurang kebangkrutan. Di sisi lain, dengan pola persaingan ini dikhawatirkan akan terjadi kelebihan pasok. Kelebihan pasok ini bisa menyebabkan banyaknya kredit macet di pusat-pusat perbelanjaan, sebagaimana yang terjadi sektor properti.

Adapun dampak negatif yang terjadi dari realitas di atas adalah: Pertama, ketidakadilan dalam persaingan. Hadirnya hipermarket dan supermarket yang sangat gencar semakin memperparah kondisi pasar rakyat. Akhirnya, pasar rakyat semakin termarjinalkan. Pedagang-pedagang yang tidak mampu bertahan akhirnya gulung tikar di tengah perjalanan usahanya. (Kompas, 23/11/2005). Hal itu karena pedagang di pasar rakyat ini secara umum adalah pedagang-pedagang kecil bukan pengecer raksasa seperti yang ada di pusat-pusat perbelanjaan modern. Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah ke bawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.

Ruang bersaing pedagang pada pasar rakyat kini juga mulai terbatas. Jika selama ini pasar rakyat dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik. Faktanya, skala ekonomis pengecer pada pasar modern yang cukup luas dan akses langsung terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka, sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya, para pedagang di pasar rakyat, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang rakyat kini mulai terkikis bahkan nyaris lenyap, digantikan keunggulan bersaing pengecer berduit di pasar modern.

Kedua, omzet pasar rakyat semakin menurun. Menurut H. Asnawi, ketua Bidang Fasilitas dan Pembiayaan DPP APPSI, tahun 70-an sampai awal 80-an, seluruh pembeli, kelas bawah hingga atas, belanja di pasar tradisioanl. Pertengahan 80-an sampai awal 90-an, mulai muncul pasar modern, seperti Golden Trully, Hero, Ramayana, Matahari. Sebagian pembeli beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. (Republika, 19/09/ 2005). Tahun 90-an merupakan booming pasar modern. Masyarakat pun berbondong-bondong ke pasar modern. Tahun 2000-an, pasar tradisional makin meredup. Apalagi dengan makin menjamurnya hipermarket. Asnawi juga mengatakan bahwa sekitar 50-60 persen pangsa pasar tradisional terambil oleh pasar modern. Sisa yang 40 persen itulah yang saat ini masih diraih oleh pedagang pada pasar tradisional. Bahkan, saat ini keberadaan pasar rakyat makin terpukul. Logislah jika omzet pasar rakyat menurun tajam.

Sebagai perbandingan, menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia DKI Jakarta menyatakan, enam pasar tradisional terancam kolaps akibat berdirinya pasar modern Hypermart di kawasan Tanah Abang. (Tempo Interaktif, 03/10/2006). Keenam pasar itu adalah Pasar Benhil, Pasar Kebun Jati, Pasar Tanah Abang, Pasar Gandaria, Pasar Kebon Kacang, dan pasar kaget di Jalan Lontar.

Sebagai contoh, sebelum kota Bandung dikepung pasar modern, Aep, penjual telur, mampu menjual telur hingga 7 kuintal. Namun, kini anjlok menjadi maksimal 4 kuintal. Aep mengatakan, bahwa murahnya harga telur atau barang lainnya di supermarket dan pasar modern lainnya dikarenakan pengelola pasar modern mampu memotong jalur distribusi. Caranya, mereka membeli langsung ke produsen dalam jumlah besar. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/02/Jabar/6347.htm). Cara ini juga sangat memungkinkan pengelola pasar modern mendapatkan potongan harga.

Selain itu, beralihnya pembeli dari pasar rakyat ke pasar modern dipicu banyak faktor. Diantaranya karena kondisi sebagian besar pasar rakyat masih menyedihkan. Seperti kios yang kurang tertata dan jalan yang rusak. Saat hujan, jalanan becek dan berbau karena drainase dan sanitasi yang tidak memadai. Saat kemarau, pengunjung harus bermandi debu. Malang nian nasib pasar rakyat.

Menelusuri Akar Masalah

Banyak faktor yang menjadi penyebab dari permasalahan di atas. Hal inilah yang sering kali menimbulkan perbincangan yang tak berujung, karena menelusuri masalah utama kasus ini bak mencari kambing hitam untuk dijadikan pelarian. Namun, jika kita analisis secara mendalam, setidaknya ada lima hal yang menjadi penyebab dari matinya usaha pada pasar rakyat:

Pertama, pasar rakyat yang tidak mampu bersaing

Ketidakberdayaan pasar rakyat itu dikarenakan keterbatasan modal, rantai distribusi barang yang terlampau panjang sehingga harganya menjadi mahal, kondisi fisik pasar rakyat yang tidak nyaman, dan kualitas barang dagangan yang ada di pasar rakyat tidak lebih baik dari pasar modern. Keempat hal itulah yang menyatu menjadi fenomena sosial: ketidakberdayaan. Di sisi lain, rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) Kota Bandung tahun 2007 untuk merevitalisasi pasar rakyat agar mampu bersaing dengan hipermarket, hanyalah harapan kosong.

Kedua, pola bisnis yang jauh dari etika

Pola saling menzalimi antar pesaing ini seakan wajar terjadi ketika tata kehidupan ini adalah kehidupan yang machiavelis. Para pengusaha di pasar modern sering kali melakukan politik dumping. Mereka menjual barang yang lebih rendah dari harga pasar. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mendapatkan barang tidak melalui jalur ditribusi yang melelahkan. Selain itu, jarak yang berdekatan antara pasar rakyat dan pasar modern seringkali menjadi ajang untuk menghancurkan bisnis pihak lain. Artinya, ketika pola tidak sehat itu terjadi, maka kelompok usaha kecil yang akan jatuh tersungkur.

Ketiga, kelalaian pemerintah

Pemerintah dinilai cenderung mementingkan proyek yang menguntungkan golongan berduit dari pada rakyat kecil. Jika ada keberpihakan kepada rakyat kecil, semestinya pemerintah memperbaiki pasar rakyat tanpa membunuh pedagang kecil yang ada di sana. Kurangnya perhatian pemerintah ini terbukti dengan tidak adanya aturan main tegas yang melindungi pasar rakyat ataupun pembatasan kuota jumlah pasar modern di suatu wilayah yang implementasinya benar-benar dijamin pemerintah.

Demikian juga dengan masalah permodalan, pemerintah kota bandung tidak serius membantu permodalan (dana murah) bagi para pedagang pasar rakyat dengan membantu peritel kecil. Karena dengan permodalan yang kecil inilah, persaingan dengan pasar modern berdampak buruk bagi para pelaku ritel kecil.

Pemerintah telah berlaku lalai dengan membiarkan kondisi pasar rakyat semakin buruk dari tahun ke tahun: becek, kotor, bau, dan banjir sampah di mana-mana. Hal inilah yang membuat orang menjadi antipati terhadap pasar rakyat. Data pasar tahun 2004 dari Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung menyebutkan, 13 (37,14%) dari 35 pasar rakyat yang ada di Kota Bandung kondisi fisiknya tidak layak pakai, sebab kelayakannya di bawah 40%. Sementara, pasar rakyat yang kondisi kelayakannya di atas 70% sebanyak 14 pasar (40%). Selebihnya adalah pasar yang kondisi fisiknya rusak sebagian. (Pikiran Rakyat, 12/06/2006). Lihat saja Pasar Kosambi, basement yang digunakan sebagai areal parkir, gelap gulita; septictank tidak tersedia, sehingga semua limbah cair pasar langsung dibuang ke pipa yang terus mengalir ke riool. Akibatnya, saat pipa tersumbat, air menggenang di basement pasar. Lantai dua hingga enam tidak berpenghuni karena para pedagangnya angkat kaki setelah toko sepi akibat pembeli enggan berbelanja di pasar yang tidak nyaman lingkungannya. Kosongnya lima lantai di Gedung Pasar Kosambi ini kini malah dipergunakan sebagai tempat yang tidak jelas.

Program revitalisasi pasar yang direncanakan pemerintah kota Bandung, nyatanya tak kunjung terwujud. Padahal, penataan diharapkan rampung akhir 2006 atau paling lambat 2007, sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Kepala Dinas Pengelola Pasar, Dodi Soeryadi. (Pikiran Rakyat, 25/09/2005). Pasar yang direncanakan direvitalisasi itu adalah Pasar Andir di Jln. Waringin, Pasar Cicadas di Jln. Ibrahim Aji (Jln. Kiaracondong), Pasar Karapitan, Pasar Astanaanyar, Pasar Kiaracondong, Pasar Simpang Dago di Jln. Ir. H Juanda, Pasar Sederhana, Pasar Cihaurgeulis di Jln. Suci, dan Pasar Elektronika Banceuy. Demikian juga janji untuk membangun Pasar Balubur yang tergusur saat pembangunan jembatan layang Pasupati, tidak juga terkabul. Pasar Kosambi pun mengalami nasib yang sama, pemerintah kota, lewat Dinas Pengelolaan Pasar, yang seharusnya mengelola kembali Pasar Kosambi, tidak kunjung menuntaskan revitalisasi pasar. Akibatnya, sekitar 250 pedagang resmi di Pasar Kosambi menyatakan sepakat menata sendiri gedung pasarnya, bekerja sama dengan Koperasi Pedagang Pasar Kosambi. Namun, anehnya pemerintah kota sulit memberikan ijin terkait hal ini. (http://www.bigs.or.id/bujet/5-3/lapus2.htm).

Anti intervensi pemerintah ini juga terbukti dari lepas tangannya pemerintah kota terhadap pengeloaan pasar rakyat. Dengan alasan biaya pengelolaan pasar yang telah direnovasi terlalu besar, pemerintah rela memberikan hak kepada pengembang pasar (investor) untuk mengelola pasar tersebut. Hasilnya, niat pemerintah yang semula ingin memperbaiki kondisi pasar rakyat agar mampu bersaing dengan pasar modern, malah menjadi bencana bagi pedagang asli pasar tersebut. Sebab, harga jual kios yang mereka tempati dulu, melambung tinggi sehingga tidak dapat terjangkau.

Keempat, regulasi yang tidak memberikan banyak arti

Regulasi bagi operasionalisasi pasar modern dan pasar rakyat yang telah ditetapkan pemerintah, faktanya nihil. Banyak regulasi ini yang pada akhirnya dilanggar untuk kepentingan pemilik modal. Padahal, keberadaan regulasi ini pada awalnya untuk menjamin kepentingan masing-masing pengusaha, baik pengusaha besar maupun pengusaha kecil.

Aturan yang mengatur regulasi pasar modern terhadap pasar rakyat adalah SKB Menperindag dan Mendagri No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 Tahun 1997 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, SK Menperindag No. 107/MPP/Kep/2/1998 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Usaha Pasar Moodern (IUPM), SK Menperindag No. 420/MPP/Kep/10/1997 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, SK Menperindag No, 261/MPP/Kep/7/1997 Tentang Pembentukan Tim Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan Pusat, Surat Mendagri No. 511.2/834/PUOD Perihal Petunjuk Pelaksanaan Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, dan Surat Dirjen PDN No. 300/DJPDN/XI/1997 perihal Prosedur Perizinan Pasar Modern

Sedangkan hal-hal yang, sebagai turunan dari landasan hukum di atas adalah:
  1. Pembangunan Pasar Modern harus berada di lokasi sesuai dengan peruntukannya menurut RTRWK dan RDTRWK serta wajib AMDAL dengan aspek kajian sosial ekonomi, khususnya pembinaan dan pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil (lampiran SK MPP No. 420 Tahun 1997).
  2. Setiap perusahaan yang melaksanakan Kegiatan Usaha Pasar Modern wajib memiliki Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) dan IUPM diperlakukan sebagai Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) - Kep.MPP No.107 Pasal 2
  3. Pasar Modern wajib melakukan kerjasama dengan Pedagang Kecil dan Menengah, Koperasi, serta Pasar Tradisional melalui program kemitraan (SK MPP No. 107 Pasal 5). a) Pola dan Rincian Kerjasama Kemitraan Usaha Dagang b) Tata Cara Pembayaran, c) Rencana Kerja yang jelas termasuk upaya mendukung keusahaan Pengusaha Kecil dan Menengah, Koperasi, serta Pasar Tradisional yang bekerjasama dengan Pasar Modern, d) Pola Perlindungan bagi Mitra Usaha.
  4. Jam kerja Pasar Modern ditetapkan mulai dari Hari Senin s/d Minggu buka mulai pukul 10.00 s/d 22.00 waktu setempat. Perubahan sebagaimana dimaksud diatas diusulkan oleh Bupati/Walikota Kotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri untuk mendapat persetujuan (Kep.MPP No.107 Pasal 11).
Kenyataannya, jauh panggang dari api. Sesuai dengan aturan mengenai rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) kota, seharusnya pendirian pasar modern berada di lokasi yang sesuai dengan peruntukannya, yaitu kawasan perdagangan. Apabila dalam kajian Bappeda, lokasi dibatasi dengan jarak tertentu untuk satu komoditas, kuotanya bisa dihitung berdasarkan luas Kota Bandung. Dalam perda Kota Bandung Nomor 2/2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ditegaskan, perkembangan pusat belanja dan pertokoan yang cenderung linier sepanjang jalan arteri dan kolektor harus dikendalikan. Pengembangannya didorong ke wilayah Bandung Timur. Peraturan itu secara normatif memang melindungi pedagang di pasar rakyat. Namun, karena ketidakjelasan dalam pelaksanaan, telah membuat pebisnis pasar modern bebas melakukan dominasi pasarnya. Bahkan, banyak dibangun hipermarket dan sepermarket di daerah Bandung utara dan barat. Telah beroprasi lima pusat perdagangan modern, yaitu Carrefour, Bandung Electronic Center, Giant Hypermarket, Cihampelas Walk, ITC Kebon Kelapa, dan ITC Pasar Baru. Kemudian, disusul dengan dibangunnya empat mal/hipermaket baru, yaitu Bandung Electronical Mal, Parijs Van Java, Braga City Walk, dan Paskal Hyper Square. Semua pusat perbelanjaan modern yang terakhir dibangun itu berlokasi di pusat kota, bukan di wilayah Bandung Timur seperti yang diamanatkan Perda RTRW Kota Bandung (Kompas Jawa Barat, 18/11/05). Inilah yang pada akhirnya menyulitkan pasar rakyat.

Banyak ritel modern yang berdiri tak jauh dari pasar rakyat. Bahkan ada yang berdampingan atau menempel dengan pasar rakyat. Akibatnya, pasar rakyat semakin terdesak dan sepi pengunjung. Secara rata-rata, pengunjung pasar rakyat tinggal 40 persen. Bahkan di Jakarta, ada sembilan pasar yang hampir punah. Konsumen berbondong-bondong beralih ke pasar modern. (Republika. 19/09/2005).

Demikian juga dalam aspek kemitraan, yang seakan menjadi gagasan absurd. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 107/MPP/Kep/2/1998, tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Dalam pasal 5 Kepmendagri itu disebutkan, pasar modern wajib melakukan kerja sama dengan pedagang kecil dan menengah, koperasi, serta pasar tradisional melalui pola kemitraan. Namun, kenyataannya lagi-lagi tidak ditemukan. Keberadaan pasar modern tidak mendukung eksistensi pasar rakyat, bahkan cenderung merugikan. Makin terpuruknya pasar rakyat, tak lepas dari kebijakan pemerintah yang dinilai masih kurang tegas di bidang ritel. Dalam radius kurang dari 10 kilo meter, pasar rakyat tidak mampu bersaing dengan hipermarket dan supermarket yang berdiri megah. Becek, kotor, bau, sampah yang menggunung adalah sederet kata yang membuat masyarakat malas untuk berkunjung ke pasar rakyat. Jadi, sesungguhnya tidak ada yang disebut dengan kemitraan usaha dagang.

Jika ada semacam kerja sama, itu sebatas hanya barang dagangan berupa sayur-mayur dan keperluan dapur lainnya. Pada kondisi ini pun pemasok kelas kecil akan menemui batu ganjalan, karena sistem pembayaran yang diberlakukan oleh pedagang pada pasar modern adalah dengan diutang, baru dibayar setelah sekian bulan. Tentu saja hal ini akan menyulitkan pemasok kelas kecil, karena ia membutuhkan perputaran uang yang cepat. Akhirnya, peluang ini pun akan diambilalih oleh pemasok dengan modal besar.

Adapun tentang pengaturan jam buka, ini sebetulnya tidak terlalu signifikan. Walaupun demikian, faktanya memang selalu lain. Diantara ritel modern justru telah buka sejak pukul 08.00.

Kelima, diterapkannya sistem ekonomi kapitalis

Sejak awal kemunculannya, sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang tidak manusiawi. Karena kendali ekonomi yang sesungguhnya adalah berada pada kaum pemodal. Akhirnya, harta hanya akan berputar di kalangan berduit saja. Adanya akumulasi modal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Terlihat dengan jelas, pada kasus banyaknya ditemukan pasar modern berarti telah terjadi perputaran uang pada sebagian kecil orang saja. Padahal, pedagang pasar rakyat merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional, sebab melibatkan jutaan pedagang. Setidaknya ada 24 ribu pasar, yang mencakup 12,6 juta pedagang, dan tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Pasar tersebut bervariasi, dari yang kecil, terdiri dari sekitar 200-500 pedagang, hingga yang besar seperti Tanah Abang dan Senen, yang memiliki anggota 10.000 sampai 20.000 pedagang. (Republika, 19/09/2005). Bahkan, menurut ketua APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), Ibih T.G.Hasan, mengatakan bahwa per Juni 2006 di Indonesia terdapat 13.450 pasar tradisioanl dengan 12,6 juta pedagang. Nilai aset keseluruhan sebesar Rp 65 triliun. (http://www.depkominfo.go.id). Dengan adanya pasar modern, berarti nilai aset yang besar hanya beredar disejumlah orang, bukan terdistribusi pada 12,6 juta pedagang di pasar rakyat.

Anggapan bahwa pasar modern menyerap banyak tenaga kerja, hal itu tidaklah sebanding dengan bangkrutnya usaha dan hilangnya pangsa pasar jutaan pedagang di pasar rakyat.

Masih dalam pandangan ekonomi kapitalis, tidak ada batasan kepemilikan. Sehingga, setiap orang memiliki akses terhadap apapun, asalkan memiliki modal untuk memilikinya. Kapitalis memandang bahwa pasar rakyat dapat dimiliki oleh individu. Tidaklah aneh jika para pengelola pasar rakyat adalah pihak swasta. Adapun negara, telah lama 'cuci tangan' dalam urusan ekonomi ini. Karena memang globalisasi menghedaki anti intervensi negara dalam ekonomi dan adanya privatisasi sektor publik.

Pandangan Syariah Islam

Islam memandang bahwa pasar rakyat adalah bentuk kepemilikan publik. Dalam kitab an-Nizham al-Iqtishadi Fil Islam pasar terkategori kepemilikan publik karena sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi, artinya termasuk benda yang memiliki kemanfaatan umum. (An-Nabhani, 1996: 241). Hal itu berbeda dengan pasar modern -dalam arti ritel atau supermarket seperti saat ini, pada dasarnya pasar modern adalah kepemilikan individu.

Konsekuensinya, pasar rakyat tidak boleh dimiliki oleh individu, melainkan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan publik (rakyat). Inilah yang dimaksud dengan paradigma pengelolaan kepemilikan publik oleh negara (state based management), bukan yang berbasis swasta (corporate based management). Di dalam Islam, negaralah yang bertanggungjawab atas pengelolaan pasar. Seperti membangun (revitalisasi) pasar, modernisasi pasar, dan sejenisnya yang membuat image pasar rakyat menjadi tempat pembelanjaan yang menyenangkan. Tidak lagi becek, kotor, banyak tumpukan sampah, dan bau busuk. Negara bertanggungjawab menyediakan semua fasilitas tersebut dengan murah bahkan gratis. Negara, dalam Islam, harus menolak dengan tegas praktik ekonomi kapitalis yang hanya melahirkan kesenjangan akibat dari adanya akumulasi modal pada orang tertentu saja.

Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan daya saing pasar rakyat atas pasar modern dengan program pemberdayaan pembangunan. Pemberdayaan pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar rakyat perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah harus berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah. Sedangkan pembangunan adalah melalui modernisasi bentuk fisik pasar. Sehingga, pasar rakyat dapat bersaing, bahka bisa mengalahkan, pasar modern.

Kaitannya dengan investasi asing pada pasar modern (seperti supermarket dan hipermarket), negara harus memberikan batasan terhadap investasi asing tersebut. Pada dasarnya, investasi pada bisnis kepemilikan individu, baik berasal dari domestik maupun asing, diperbolehkan dalam Islam. Selain itu, investasi sangat dibutuhkan untuk berjalannya sebuah usaha. Namun, investasi yang bermuatan penjajahan ekonomi asing atas ekonomi domestik, tidak diperbolehkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman yang artinya: Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman (TQS. An-Nisa: 141). Artinya, negara dengan basis ideologi Islam akan menjadikan orientasi ekonominya adalah demi kesejahteraan rakyat. Sehingga apa-apa yang mengganggu kestabilan ekonomi rakyat atau mengusik kemaslahatan rakyat, wajib ditolak.

Ekonomi Islam adalah praktik ekonomi yang beretika. Di dalam Islam, diharamkan sebagian menzalimi sebagian yang lain. Dengan kalimat lain, seorang pengusaha seharusnya memutuskan jaringan distribusi yang dipandang efektif dan efisien untuk menghubungkan produsen dengan konsumen tanpa harus menzalimi pesaing lain. Artinya, perilaku ekonomi yang kapitalis-oportunis-machiavelis tidak pernah dikenal dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar