Minggu, 24 Oktober 2010

Demokrasi Ekonomi (04) Ekonomi Rakyat dan Demokrasi Ekonomi - Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Indonesia (Desember 1996)

Untuk Sumbangan pikiran IP-KI pada Sidang Umum MPR 1998, berupa Konsep Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR tentang Pokok-pokok penyelenggaraan Demokrasi Ekonomi — IP-KI bekerjasama dengan Lemhannas mengadakan Seminar tentang maksud tersebut. Adalah Subiakto Tjakrawerdaya yang menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil pada saat itu.

Profesor Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menuliskan sambutannya pada seminar tersebut,”IP-KI dengan bekerjasama dengan Lemhannas telah mengambil langkah yang strategis dan pragmatis dengan memprakarsai penyelenggaraan seminar tentang Demokrasi Ekonomi; dan sekaligus akan memperjuangkan hasil akhirnya agar dapat menjadi salah satu Ketetapan MPR dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1998. Dengan demikian, nantinya diharapkan konsep Demokrasi Ekonomi dalam segi operasionalnya dapat lebih bersifat mengikat. (bolded huruf oleh penulis)

Subiakto Tjakrawerdaya mengemukakan Pokok-pokok pikiran berkenaan dengan upaya mewujudkan Demokrasi Ekonomi dalam Seminar tersebut, dimulai tentang masih relevannya implementasi demokrasi ekonomi — dalam kerangka memasuki Pembangunan Jangka Panjang berikutnya — sementara sampai akhir pembangunan jangka panjang pertama hal tersebut belum sepenuhnya tercapai. “Pembangunan ekonomi telah berhasil, namun masih terdapat beberapa kekurangan antara lain kesenjangan ekonomi antar pelaku, antar wilayah, antar sektor, dan antar kelompok pendapatan.” (bolded oleh penulis)

Bagaimana hari ini ? Setelah 14 tahun dan telah mengalami Sidang Umum MPR (UUD 1945 sebelum di-amendemen) dan Setelah di-emendemen, serta tiga kali Pemilu (reformasi), lima orang Presiden bergantian secara estafet, diantaranya dua kali Presiden pilihan langsung Rakyat melalui pemilihan umum; sudahkan ketimpangan di atas dapat dilenyapkan atau ada arah Kebijakan yang mantap untuk merubah struktur perekonomian yang tidak adil tersebut ? Adalah wajar keadaan yang digambarkan Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil, Subiakto Tjakrawerdaya, menteri di masa pemerintahan Presiden Suharto itu menjadi bench-mark, tolok ukur menilai perekonomian Indonesia saat ini.

Dua adagium ekonomi pembangunan Orde Baru : Pertumbuhan dan Pemerataan (dengan Stabilitas sebagai kunci Pembangunan Nasional). Lima kali Rencana Pembangunan Lima Tahun sejak tahun Fiskal 1968/1969 sampai 1993/1994 — memasuki Era 25 tahun berikutnya, Pak Harto mendengarkan kritik dan saran dari berbagai pihak— secara pribadi pun beliau selalu menyatakan “miris” melihat keadaan yang masih timpang. Dan ada kritik yang tidak sepenuhnya Pak Harto dan pembantu-pembantunya dengarkan. Yakni makin besarnya hutang Luar Negeri indonesia — banyak ekonom yang berseberangan mengingatkan, “bahaya Debt-trap yang akan dialami Indonesia” — bahaya itu masih mengancam sampai saat ini (ekonom yang gigih menyuarakan hal itu, antara lain Profesor Dr. Sritua Arief dan kawan-kawan).

Sekonyong-konyong Krisis Asia 1997 melanda Negara-negara Asia, itu dimulai bulan Juli di Thailand — Pemerintah Indonesia yang sarat dengan hutang Luar Negeri dan Pihak Swasta Indonesia juga yang melakukan hutang usahanya dalam bentuk uang asing, terutama US Dollar. Kelabakan, kurs US dollar melonjak, melambung memacetkan seluruh sistem moneter Indonesia. Dalam waktu singkat Indonesia mengalami kemelut krisis di segala aspek — Krisis Moneter ke krisis Ekonomi, lantas krisis Politik — rupanyaBudaya Indonesia, dn karakter pemimpin tidak siap mengatasi krisis yang dinamakan Multi Dimensional itu. Panik! Jalan yang ditempuh mengatasi krisis dengan meneken hutang lagi. Masuk perangkap lebih dalam……….. buat pula Kebijakan yang menguntungkan Pengusaha dan para Bankir (pada waktu itu semua pengusaha kuat adalah juga Bankir, masing-masing mempunyai Bank— untuk menyedot dana murah dari Bank Indonesia dan dari masyarakat). Selamatlah mereka ………dan Indonesia terseok-seok seperti pengemis jalanan dengan tongkat di kedua ketiaknya.

Tragedi Indonesia. Kapitalisme menjadikan Indonesia pasaran hutang yang empuk — seperti rumah tangga yang tercekik dalam jaringan lintah darat. Sudah longgarkah saat ini lilitan dan cekikan hutang itu terhadap perekonomian nasional Indonesia ? Kita membiayai Perekonomian Indonesia dengan hutang dan aliran pasar modal yang sangat riskan. Hot-money, Indonesia menjadikan aliran uang panas itu menjadi Indikator ttitik terang (seolah-olah). terakhir ini hot-money itu dicoba dijinakkan dengan mengulur waktu. Boleh keluar sekonyong-konyong dalam sebulan (30 hari). Ini Indonesia bung !

Bisnis pencucian uang, pasar modal dan pasar uang yang spekulatif — bukan jaminan bagi Indonesia. Terbukti kekuatan konsumsi dalam negeri-lah yang melumasi kelancaran mengatasi efek Krisis finansial Amerika yang mempengaruhi global (2008).

Krisis Eropa saat ini memang tidak langsung mengancam perekonomian Indonesia. Karena prosentase ekspor Indonesia ke sana kecil — tetapi para investor portofolio (baca spekulan ) yang saat ini mengincer Sektor Konsumer dan sektor Properti, konon— cekiklah aliran uang koruptif Indonesia, apabila dibrantas tuntas — aliran uang asing itu juga akan hambus ! Siapkah perekonomian Indonesia memulai lagi merehabilitasi-nya (kalau terjadi) ?

Lima tahun ini Indonesia seharusnya untuk selanjutnya mengandalkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan — produksi mereka-lah yang berdaya tahan selama krisis Asia 1997— daya beli rakyat juga berada di sana. daya kreatif ekonomi rakyatlah yang selama ini, membuat perekonomian Indonesia survive, menggerakkan rumah tangga rakyat di desa, di kota atau pun di sentra-sentra produksi. Jangan usik kalkulasi produksi mereka — lancarkanlah faktor-faktor produksi bagi mereka, murahkan bunga dan tarif, perbaikilah upah buruh — karena buruh adalah Rakyat yang berkorban untuk produksi nasional. tidakkah engkau lihat itu ? Perbaiki term of trade bagi ekonomi kerakyatan terhadap sektor lain yang lebih kuat.

Sukarkah bagimu membuat Kebijakan seperti itu ?

Ini isi ceramah Subiakto Tjakrawerdaya lebih lanjut, ” Di sisi lain pertumbuhan juga sangat ditentukan oleh permintaan. Perkembangan pemikiran terakhir menyatakan bahwa negara yang ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi haruslah konsisten berorientasi pada perdagangan internasional.”

Perdagangan Internasional kuncinya efiensi, daya saing, dan pembinaan — kekuatan ekonomi rakyat harus dicangkok-kan pada sektor ini — pemerintah harus membangun infra struktur di sisi ini. Tentunya kembali — reformasi birokrasi harus segera dituntaskan. afisien dan emnghindarkan ‘waste’ secara manajerial — titik lemah manajemen negara Indonesia. Korupsi harus dibasmi !

Indonesia sebagai negara penghasil bahan dasar industri negara lain, harus memperkuat sektor ini. Cangkok-kan lah ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesempatan usaha, pengurangan pengangguran dengan nyata, dan menuntaskan kemiskinan — Negara ini selalu melakukan ‘lupa-lupa ingat’. Apakah itu Budaya Indonesia, melupakan yang papa — memandang ke atas, dan asyik membangun lingkungan kekuatan politik untuk melanggengkan kekuasaan ?

Selanjutnya Subiakto, ” ……….Di satu pihak negara-negara yang memiliki dukungan pasar domestik (pen. seperti juga Indonesia) yang kuat seperti China misalnya, mampu menumbuhkan pengusaha-pengusaha lokal yang kini bertaraf internasional. Pengalaman di pasar domestik yang sangat besar menjadi modal mereka untuk bersaing di pasar internasional…………”

Cina sekarang mulus, dengan atau tanpa forum internasional — produksinya melanda memasuki seluruh pasar dunia — kalau Negara tidak memperkuat ekonomi kerakyatan, Indonesia akan dipelihara kekuatan ekonomi asing, bertumbuh ekonominya tetapi hanya untuk ‘kepentingan pasar mereka’ (berita nasional bangga sekali, bahwa rating Moody’s Indonesia membaik — hutang dari Jepang baru diterima, BUMN dan Swasta dipacu untuk IPO — Laba mengalir keluar, bunga tinggi, dan yield yang profitable — terus merangsang investor asing. Alangkah cepatnya langkah bagi mereka ?

“……….. Sebenarnya Indonesia juga mempunyai persamaan seperti itu. kenyataan demikian mengharuskan kita untuk berpikir ulang. Bahwa betapapun juga kita harus berangkat dari keunggulan-keunggulan domestik sebagai dasar pijak kita untuk membangun daya saing. Keunggulan domestik itu tidak lain adalah ketersediaan faktor produksi dan pasar yang kita miliki secara berlimpah………..”

Cina membangun perekonomian rakyatnya dengan efisien, memananaje ‘linkage’ Ekonomi Industrinya — mengelola pasar domestik, merambah pasar internasional dengan daya saing yang membuat lawan tidak berkutik — itulah yang terjadi dari hasil reformasi politik ekonomi Deng Xiaopeng sejak thun1978. Last but not least — menembak mati ribuan koruptor untuk mengefisienkan perekeonomian Cina.

Bagian ke-III dalam cermah itu ia mengemukakan, ” ……….Demokrasi Ekonomi, terdapat paling sedikit dua prasyarat pokok yang sangat penting sebagai hakikat demokrasi ekonomi. Pertama adalah tujuannya yaitu kemakmuran seluruh rakyat. Kedua adalah perlunya keterlibatan dan partisipasi rakyat banyak baik dalam proses produksi maupun dalam menikmati hasil-hasilnya.”

Sebenarnya secara Konstisional telah dijamin “kepentingan Rakyat banyak’, secara kebijakan fiskal pun telah tersedia peluang untuk meratakan hasil kemakmuran bagi Rakyat — Redistirbution of Income dapat digencarkan dengan Kebijakan Pajak dan pemberian subsidi bagi Rakyat — pemilik kemakmuran itu. Tegakkan hukum terhadap “pencuri pajak” dan kembangkan Kebijakan Subsidi yang produktif bagi Ekonomian Kerakyatan.

Subiakto selanjutnya mengatakan, “…..antara demokrasi ekonomi dan ekonomi rakyat merupakan dua konsep yang menyatu. Salah satu prasyarat pokok dari demokrasi ekonomi adalah keterlibatkan rakyat banyak. Ekonomi yang melibatkan rakyat banyak adalah ekonomi rakyat. Karena itu operasionalisasi demokrasi ekonomi pada dasarnya merupakan upaya mewujudkan ekonomi rakyat………..”

Lho ? masalah kita kini yang mendesak adalah Pengangguran dan Kemiskinan — hakekatnya paragraf di atas adalah kebijakan yang gampang dan wajar. Perhatikanlah simpul-simpul kemiskinan — jangan biarkan Rakyat tidak produktif — memasuki dunia gelap, kriminal dan menjadi parasit di dalam masyarakat — menghisap penghasilan produktif sesama rakyat kecil dengan menyuburnya, tindak kejahatan yang dilakukan aparat sampai di tingkat paling bawah — mengatur pengamen-pemeras, meniagakan lapak-lapak yang melanggar Peraturan, percaloan kriminal (kalau di Birokrat modelnya adalah Mafia Hukum dan Peradilan, pemerasan percukaian, Mafia Pajak), dan segala pemalsuan dan pembajakan hak intelkstual, dan lain-lain yang gampang dan bisa dinegosiasikan apabila ada ada aparat, menuntut redistributin of income secara elap itu. Cepat bertindak jangan Rakyat terus-terusan memakan Rakyat. Budaya Penghisapan akan dikembangkankah ?

Sekarang mungkin data ini tidak banyak berubah. Menteri itu mengatakan, “………Saat ini terdapat lebih dari 34,27 juta pengusaha di seluruh Indonesia. Sekitar 99,8 persen dari jumlah itu merupakan pengusaha kecil, sisanya 0,2 persen adalah pengusaha menengah dan besar ……………….”

Jadi Indonesia ditopang sepenuhnya oleh Ekonomi Rakyatnya yang produktif. Efisienkah ? Adilkah ?

Ini masalah filsafat, masalah nilai. Falsafah Bangsa ini yang menyangkut hidup dan penghidupan, adalah sila kedua Pancasila : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; lantas sila kelima : Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ukurlah dan nilailah pelaksanaan Undang-undang sampai Ketentuan pelaksanaan-nya — apakah Hasil-nya, dapat engkau banggakan sebagai citra Ke-pemimpinan-mu. Apakah engkau benar-benar pro Rakyat.

Rakyatmu kini tambah cerdas — mereka menilai-mu ‘lebih baik dari dulu’, kalau upah buruh adil dan berkembang, jaminan sosial makin luas di masyarakat, kebijakan fiskal berupa pembinaan dan subsidi bagi rakyat yang berjasa — dalam roda produksi dan perekonomian. Itu saja !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar