Minggu, 24 Oktober 2010

Diperlukan Sistem Ekonomi Nasional Yang Berpihak Kepada Rakyat

Pemimpin Indonesia dalam bicaranya, teorinya dan bahkan janjinya memang sangat suka berpihak kepada Rakyat. Akan tetapi begitu ia berkuasa, baik menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota, berbeda prakteknya. Malahan tidak jarang malahan berbagai keputusannya menimbulkan penderitaan Rakyat.

Tentu kalau ditanya tentang perbedaan antara yang dilakukan dengan yang dibicarakan sebelum berkuasa, mereka menolak dengan berbagai alasan, karena memang umumnya orang Indonesia cerdas dalam mencari alasan.

Segala retorika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjalankan kampanye pada tahun 2004, tidak terbukti ketika menjalankan kekuasaan selama 5 tahun dari tahun 2004-2009. Buktinya, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan tetap sekitar 35 juta orang atau lebih dari 15% penduduk. Juga tidak terdapat peningkatan menonjol dari perkembangan kesejahteraan rakyat karena tidak ada secara nyata sikap berpihak kepada kesejahteraan Rakyat . Hal itu sebetulnya dapat dilakukan dengan menunjukkan politik atau kebijakan yang nyata dalam perkembangan pertanian dan perikanan yang menyangkut jutaan rakyat. Juga dalam mengembangkan peran UMKM, baik yang bentuk koperasi maupun swasta, padahal usaha itu jelas berhubungan langsung dengan usaha rakyat golongan menengah ke bawah. Malahan juga tidak ada kebijakan industri yang menuju satu kondisi daya saing nasional yang andal dalam bentuk Indonesia Incorporated.

Meskipun begitu toh Presiden SBY terpilih kembali pada tahun 2009. Hal itu merupakan indikasi bahwa Rakyat berpendapat ia masih lebih dapat diharapkan dari pada Pemimpin lain yang mencalonkan diri menjadi Presiden. Kondisi bangsa Indonesia ini akan diuji ketika sekarang harus menjalankan Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Banyak pihak khawatir bahwa dunia usaha Indonesia yang kurang disiapkan oleh Pemerintah akan berat sekali menghadapi masuknya barang produksi China. Tidak mustahil banyak usaha Indonesia, baik yang UMKM maupun besar, tidak tahan bersaing dan gulung tikar. Mengakibatkan sekian juta karyawannya kehilangan pekerjaan.

Padahal kurangnya daya saing dunia usaha Indonesia bukan semata-mata karena pengusaha Indonesia kalah pintar, tetapi juga amat dipengaruhi oleh kondisi yang diciptakan oleh pemerintah China di negaranya dan pemerintah RI di Indonesia. Seperti tingginya suku bunga bank di Indonesia yang sekitar 12 sampai 16% dibandingkan dengan di China yang di bawah 10% . Kondisi perlistrikan yang amat lemah di Indonesia karena kurangnya kesungguhan dalam pembangunan daya listrik, kecuali hanya retorika, dan lainnya.

Ini semua menunjukkan bahwa memang para pemimpin di Indonesia kurang komitmen membangun daya saing ekonomi yang amat berpengaruh kepada kesejahteraan Rakyat.

Akan tetapi Presiden SBY bukan yang pertama dalam sikap kurang komitmen dan kesungguh-sungguhan berpihak kepada Rakyat. Bahkan Presiden kita yang pertama, Bung Karno, yang selalu menggebu-gebu dalam membela kepentingan Rakyat, tidak memberikan perhatian cukup kepada kesejahteraan Rakyat. Andai kata Bung Karno sungguh-sungguh mendalam berpihak kepada Rakyat, maka beliau seharusnya melihat betapa Rakyat Indonesia hidup dalam penderitaan hidup dan ketertinggalan. Setelah bangsa Indonesia berhasil memasukkan Irian Barat kepada wilayah NKRI sudah sewajarnya pemerintah RI melakukan konsolidasi dengan memperbaiki kesejahteraan Rakyat yang sejak Perang Kemerdekaan belum pernah mengalami perbaikan kesejahteraannya. Maka Bung Karno seharusnya tidak segera beralih dalam usaha menantang Neo-Kolonialisme dan Neo-Imperialisme atau NEKOLIM. Melainkan membuat bangsa Indonesia kuat dulu secara fisik dan mental untuk kemudian baru mentackle NEKOLIM. Akibat dari pilihan Bung Karno maka Rakyat makin sengsara dan tujuan perjuangan tidak terwujud. Malahan Bung Karno sendiri jadi korban yang amat tragis dari salah-pilih prioritas ini.

Pak Harto sebagai Presiden kedua mula-mula menempuh jalan yang benar untuk memperbaiki kondisi Rakyat. Jalan-jalan dan prasarana lain diperbaiki untuk meningkatkan produksi petani, dilakukan perbaikan dalam sandang-pangan-papan Rakyat. Inflasi yang di masa akhir Bung Karno mencapai angka di atas 600 percent, diperbaiki sehingga meringankan kehidupan golongan menengah ke bawah. Presiden Soeharto mulai Pembangunan Nasional dengan bertitik berat ekonomi yang langkah demi langkah meningkatkan kesejahteraan Rakyat.

Akan tetapi kemudian langkah-langkah berikut mulai menjauhi Rakyat. Konglomerasi terjadi yang mengutamakan perusahaan besar, seperti tidak peduli usaha tekstil Majalaya bangkrut karena tidak tahan menghadapi masuknya usaha tekstil Jepang yang datang dengan segala kemampuan modern-nya. (Ketika saya menjadi Duta Besar di Jepang ada penjabat Jepang mengatakan bahwa hal serupa itu tidak akan pernah terjadi di Jepang. Pemerintah Jepang tidak akan rela mengorbankan usaha rakyatnya karena kalah terhadap usaha asing yang masuk. Akan diusahakan agar usaha rakyatnya makin mampu menghadapi usaha asing itu !)

Itu terutama disebabkan karena para Menteri yang membantu Pak Harto dalam ekonomi di bawah pimpinan Prof Widjojo Nitisastro menganut pandangan yang kurang berpihak kepada Rakyat. Kalau kelompok ini menolak dikatakan pro-Neolib dengan alasan bahwa peran Negara/Pemerintah terhadap ekonomi kuat, jadi bertentangan dengan paham NeoLib, namun peran Negara/Pemerintah yang mereka kendalikan tidak berorientasi kepada Rakyat karena mereka lebih bersedia meladeni kepentingan asing dalam bentuk Washington Consensus, yaitu kekuasaan World Bank dan IMF yang dikendalikan Amerika Serikat dan US Treasury atau kementerian keuangan AS. Jadi yang beruntung dari peran Negara/Pemerintah terhadap jalannya ekonomi Indonesia, bukan Rakyat Indonesia melainkan AS dengan dunia usahanya yang besar. Para menteri itu mengatakan bahwa keadaan ini akan menimbulkan trickle down effect atau Rakyat ketetesan atau kecipratan kekayaan perusahaan besar yang diuntungkan.

Kemudian itu semua masih diperparah ketika Pak Harto kurang tega bahwa putera-puterinya hidup kurang sejahtera. Maka Ekonomi dengan dasar Kekeluargaan menjadi Ekonomi Keluarga Soeharto. Hal mana kemudian dimanfaatkan pula teman-teman putera-puteri Pak Harto yang menimbulkan kondisi serba tidak adil bagi Rakyat umumnya.

Dengan begitu naluri Pak Harto yang sebetulnya dekat pada petani-nelayan-rakyat kecil telah menjadi korban kelemahan beliau kurang tega kepada putera-puterinya. Serta kurang kemampuan membatasi peran kaum ekonom yang tidak berpihak Rakyat.

Setelah Reformasi kondisi tidak bertambah baik, malahan makin parah karena liberalisasi ekonomi makin meluas sebagai akibat kuatnya liberalisme dan individualisme yang dibawa Reformasi. Sampai UUD 1945 di “vermaak” begitu rupa agar kehidupan makin dikendalikan liberalisme. Anehnya proses meng-amandemen UUD 1945 dilakukan ketika Ketua MPR adalah Prof Dr Amien Rais yang dinyatakan Tokoh Utama Reformasi dan Presiden RI adalah Megawati Sukarnoputri yang puteri Pemimpin Besar kita Sukarno. Bung Karno yang paling keras melawan liberalisme-individualisme.

Alhasil Rakyat Indonesia tetap terus sengsara kondisinya padahal Reformasi bertujuan memperbaiki nasib bangsa Indonesia.

Maka dapat dikatakan bahwa tidak dapat mengharapkan dari para Pemimpin Indonesia bahwa mereka mempunyai komitmen cukup kuat untuk berpihak kepada Rakyat dan bahwa mereka ingin Rakyat Indonesia maju-kuat-sejahtera.

Karena itu, usaha untuk mendatangkan kesejahteraan dan keadilan bagi Rakyat harus dititikberatkan kepada terwujudnya satu Sistem Ekonomi Nasional yang membuat semua pihak, termasuk para pemimpin, melakukan kepemimpinan sesuai dengan aturan yang tertera dalam Sistem Ekonomi Nasional itu.

Sebagai contoh baik adalah Jepang yang mempunyai kondisi berorientasi kepada Rakyat, meskipun mungkin oleh banyak orang Jepang dianggap atau dikira satu Negara kapitalis dengan adanya perusahaan-perusahaan besar atau sogo sosha –nya.

Sebagai indikasi adalah bahwa di Jepang pada tahun 1983 lebih dari 90% rakyatnya masuk Golongan Menengah. Peran terbesar dalam usaha bukan Perusahaan Besar seperti Mitsubishi atau Mitsui, melainkan justru UMKM yang mempekerjakan lebih dari 90% karyawan Jepang. Juga banyak praktek yang menunjukkan bahwa yang berlaku adalah solidaritas sosial dan bukan dominasi oleh yang kuat terhadap yang lemah.

Sekalipun Jepang sekutu AS yang kuat, tetapi tidak pernah mau mengorbankan petani mereka terhadap usaha AS untuk membanjiri Jepang dengan beras AS, meskipun harga beras AS lebih murah. Dan sikap ini didukung seluruh masyarakat, tidak hanya kaum petani.

Di Jepang berlaku administrative guidance di mana pemerintah mengatur semua usaha, termasuk perusahaan besar yang secara ikhlas tunduk pada pengaturan itu untuk membentuk apa yang oleh AS dengan jengkel dinamakan Japan Inc. AS mendesak terus agar Jepang menyesuaikan perdagangan dalam negerinya dengan perkembangan perdagangan bebas, agar hasil produksinya bisa leluasa di pasar Jepang, tapi Jepang tidak pernah menuruti itu kalau menimbulkan korban pada lingkungannya sendiri.

Peran UMKM yang menonjol tampak sekali ketika satu usaha besar mau buka supermarket atau department store di satu daerah. Hal itu hanya bisa terjadi kalau semua toko-toko di daerah itu memberikan persetujuannya. Dan sekalipun nanti supermarket berdiri, mungkin dengan barang yang lebih rendah dari yang dijual di toko, masyarakat daerah itu tetap beli di toko-toko itu di samping di supermarket dengan harganya yang lebih rendah. Rasa solidaritas membuat rakyat tidak mau mengorbankan kawannya sendiri.

Bukti lain dari peran UMKM : perusahaan otomotif seperti Toyota, Nissan, Honda hanya memproduksi 30% komponen mobil, sedang yang 70% diproduksi UMKM subcontractor dalam grup itu. Solidaritas dalam grup membuat perusahaan Toyota dan lainnya selalu mengusahakan agar subcontractor anggota Toyota-grup dapat berperan secara baik, seperti dalam memelihara mutu komponen yang diproduksi UMKM itu.

Yang juga amat menonjol adalah kuatnya Asosiasi Koperasi Nelayan dan Koperasi Petani di Jepang yang membuat setiap Perdana Menteri Jepang selalu mengikuti kehendak asosiasi itu. Sebaliknya asosiasi itu juga selalu menjadikan kepentingan Jepang sebagai ukuran pertama.

Masih banyak sekali ketentuan di Jepang yang mementingkan posisi Rakyat, seperti adanya lifetime employment atau pengerjaan sepanjang umur yang mungkin sekarang sudah tidak ada karena tidak lagi menguntungkan Jepang. Tidak peduli siapa menjadi pemimpin di Jepang, apa dari partai LDP atau partai Sosialis atau partai Komeito, mereka dengan sendirinya menjalankan Sistem Jepang itu. Kalau ada perbedaan dalam kebijakan masing-masing pemimpin, maka itu adalah perbedaan dalam nuansa dan bukan dalam prinsip. Dalam Parlemen Jepang tidak ada parpol yang berani melakukan bulldozing sekalipun mempunyai keunggulan mutlak dalam jumlah anggotanya. Masyarakat akan menghukum parpol yang berbuat begitu, karena keluar dari sikap Solidaritas Sosial. Jadi musyawarah mufakat adalah satu cara pengambilan keputusan yang biasa digunakan, sekalipun Jepang Negara modern dan menjalankan manajemen modern yang malahan memelopori manajemen kendali mutu. (total quality control).

Jelas sekali bahwa Sistem Jepang itu berorientasi sepenuhnya kepada kepentingan Jepang dan rakyatnya. Karena bangsa Indonesia juga ingin maju dan sejahtera, maka kita memerlukan Sistem Ekonomi Nasional yang dilandasi Dasar Negara Pancasila. Kalau kita dapat menyusun Sistem Ekonomi Nasional yang dapat ditegakkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ketergantungan pada sikap Pemimpin yang berpihak Rakyat menjadi kurang penting. Siapa pun yang jadi Pemimpin, baik Presiden, Menteri, Gubernur dan lainnya, harus menjalankan kebijakan sesuai Sistem Ekonomi Nasional itu. Syukur kalau mereka dalam kepemimpinannya sungguh-sungguh berpihak kepada Rakyat. Kalau mereka hanya retorika belaka, maka mereka akan diingatkan untuk menjalankan Sistem Ekonomi Nasional yang berlaku.

Malahan kebetulan sekarang satu tim di Universitas Brawijaya telah menyusun draft Sistem Ekonomi Nasional. Draft itu dapat dipakai sebagai working paper yang dipelajari dan kalau perlu disempurnakan oleh pihak-pihak lain. Dengan begitu kita dengan relatif cepat dapat menyusun Sistem Ekonomi Nasional yang kita perlukan itu.

Yang menjadi persoalan adalah siapa yang pertama kali menyatakan bahwa Sistem Ekonomi Nasional itu berlaku di Indonesia dan bagaimana menjaga pelaksanaannya (enforcement) . Untuk itulah sesuai UUD 1945 yang asli adalah MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai wewenang yang syah. Sebab sesuai UUD 1945 yang asli MPR menjalankan Kedaulatan Rakyat sebagai Penjelmaan Rakyat. Tapi MPR sekarang hasil UUD 45 yang di-amandemen tidak mempunyai kualifikasi itu. Sebab itu kita perlu segera kembali ke UUD 1945 yang asli sehingga MPR mempunyai wewenangnya yang sebenarnya. Kalau pun ada pihak-pihak yang ingin menyempurnakan UUD 1945 dengan memberikan addendum, hal itu dapat dilakukan setelah UUD 1945 yang asli diperlakukan kembali,

Sebab itu sekarang diperlukan tindakan Presiden SBY serta pemerintahnya untuk melakukan referendum atau hal lain yang memberikan Rakyat kesempatan menyatakan persetujuannya kepada berlakunya kembali UUD 1945 yang asli. Kalau Presiden SBY dan pemerintahnya memang menghendaki Pancasila sebagai Dasar Negara menjadi kenyataan yang berarti Kedaulatan ada pada Rakyat, maka tentu mereka akan setuju dan siap melakukan itu. Dengan tindakan itu Presiden SBY akan berjasa besar kepada NKRI dan bangsa Indonesia, terutama kepada Rakyat Indonesia.

Itulah yang diharapkan para Pejuang Kemerdekaan Bangsa Indonesia karena itulah yang akan mendekatkan bangsa Indonesia kepada Tujuan Perjuangan Kemerdekaan, yaitu terwujudnya Masyarakat yang Adil dan Sejahtera berdasarkan Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar