Senin, 25 Oktober 2010

Getirnya Perjuangan Anak Jalanan

Getirnya Perjuangan Anak Jalanan

Tangan mereka menengadah ke atas sambil membawa bungkusan berisi kepingan uang logam. Terkadang pula tangan mungil itu membawa selembar kain kumal untuk membersihkan debu kendaraan. Nada-nada yang tak merdu sering mereka dendangkan. Perempatan jalan merupakan tempat mereka mencari uang. Lampu merah pertanda mereka harus segera beraksi, mengais rezeki dari tangan-tangan dermawan. Mereka biasa kerja berkelompok, kadang pula beraksi seorang diri. Panasnya terik biasa mereka hadapi. Dinginnya malam adalah selimut tidur mereka. Lantai merupakan kasur mereka. Nyamuk adalah sahabat karib disaat mereka terlelap. Bau asap knalpot adalah parfum yang melekat dibaju mereka. Baju kumal dan kotor identik dengan pakaian mereka. Lapar adalah sahabat yang sulit ditinggalkan. Kemiskinan merupakan virus yang ditularkan secara turun temurun. Sekolah hanyalah sebuah angan-angan yang terlalu tinggi. Cita-cita merupakan sesuatu yang takut mereka cicipi. Keadaan hidup yang tiada menentu, identitas dari seorang anak jalanan.

Turun kejalanan tentu bukan keinginan yang berasal dari lubuk nurani anak-anak jalanan. Tuntutan keadaanlah yang menyebabkan mereka dengan terpaksa menyemarakkan keadaan dilampu merah. Hidup yang selalu pas-pasan, sedangkan lambung selalu saja menuntut rutin untuk dinafkahi, sehingga tuntutan itu membuat orangtua rela menerjunkan anak-anaknya kejalanan.

Pandangan orang-orang yang menunggangi hewan bermesin itu pun seolah kosong. Tidakkah mereka coba untuk mengamati, atau berbelas kasih terhadap anak-anak yang begitu berharap ada uang yang keluar dari kantong mereka untuk diberikan kepada anak-anak jalanan itu. Sinis atau jijik adalah pandangan pertama sebagian besar manusia terhadap kehidupan anak-anak jalanan. Mereka, para anak jalanan seringkali dianggap sebagai sampah masyarakat, sumber dari problema sosial. Namun, sinisme itu tidak serta merta menyebabkan jalanan bisa bersih dari arus aksi anak jalanan. Jalanan sudah menjadi panggung kreasi dan aktualisasi diri anak-anak itu. Mereka tidak peduli pada sinisme orang lain, sebagaimana orang lain pun tidak peduli terhadap mereka.

Disaat anak-anak seumur mereka begitu bahagianya merasakan duduk dibangku sekolah, maka anak-anak jalanan itu sibuk berdiri di depan ujung kendaraan meminta sedekah dari orang-orang. Ketika anak-anak lain seumur mereka asyik meliuk-liukkan pena, para anak-anak jalanan sibuk memetikkan senar gitar ditepi jalan. Anak-anak jalanan itu memiliki keinginan yang sama seperti anak-anak lain yang berkecukupan harta. Mereka pun ingin sekolah, bermain, dan belajar. Sayang, keterbatasan uang menghalangi hasrat mereka untuk memperoleh hak-haknya sebagai anak-anak.

Seharian ditengah terik matahari mereka berkeliaran dijalanan, hingga malam baru mereka beranjak pulang. Tetapi, tidak semua dari mereka bisa pulang. Pulang hanya bagi mereka yang memiliki tempat tinggal. Bagi mereka yang hidup di dunia ini tanpa sanak dan saudara, kemanakah mereka harus pulang. Emperan toko atau trotoar adalah rumah mereka. Ditempat itu pula mereka melepas lelah setelah seharian berusaha untuk meraup uang. Suara bising knalpot menjadi irama pengantar tidur mereka sehari-hari. Kurang beruntung nasib mereka jika hujan mengguyur dikala malam. Tiada tempat berteduh kecuali diteras pertokoan. Basah pakaian sudah biasa mereka maklumi. Anak jalanan, simbol dari ketidakberdayaan menghadapi kehidupan. Tubuh kecil itu terpaksa menerima tuntutan dari orang-orang dewasa yang ada disekitarnya. Atau karena harus berjuang sebatang kara didunia yang fana ini, disebabkan orang tuanya telah tiada, sementara sanak saudara tidak ketahui dimana mereka berada. Jadilah anak-anak itu harus bekerja layaknya orang dewasa. Waktu mereka habis untuk mencari nafkah. Masa-masa bermain itu punah dengan seketika. Tuntutan hidup harus selalu mereka penuhi, demi perut yang terus melilit, dan untuk kerongkongan yang senantiasa dahaga. Tiada terpikirkan oleh mereka mimpi-mimpi besar dimasa depan. Seolah pasrah dengan garis kemiskinan yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang mereka.

Sebagai sesama manusia, kepedulian itu pasti saja ada. Tidak banyak sayangnya, hanya segelintir orang yang peduli terhadap mereka. Sayangnya lagi, segelintir orang dewasa pun ada yang tega mengeksploitasi tenaga anak-anak jalanan. Mereka diperbudak untuk melayani sang tuan yang tidak tahu kasihan. Uang yang diperoleh, tidak bisa anak jalanan itu nikmati sendiri. Namun hasil keringat mereka harus disetorkan pada orang dewasa yang tak tahu lagi dimana letak otaknya itu. Tidak mampu tangan mungil itu melawan. Tidak kuasa wajah lugu itu mengekspresikan kegarangan. Tiada kuat kaki kecil itu harus melarikan diri. Perlawanan berarti resiko agresi terhadap diri mereka. Kepada siapa mereka harus mengadu, tentu mereka tidak akan tahu. Jika kepada Tuhan, siapa orang baik yang telah mengenalkan Tuhan kepada mereka. Fitrah mereka percaya adanya Tuhan. Namun mereka tidak tahu, kapan dan bagaimana harus mengadu dan memohon pada Tuhan. Semenjak kecil, mulut mereka sudah terbiasa memohon kepada manusia. Masjid? Mereka memang suka pergi ke masjid. Sayangnya, kesenangan itu bukan karena merasakan ketenangan dan ketentraman menjadi tamu Allah. Mereka senang karena akan segera mendapat banyak receh setelah jama’ah berhamburan selepas shalat. Hari Jum’at merupakan hari raya yang mereka tunggu. Tentu jama’ah akan membludak di masjid. Harapan kepingan uang semakin penuh terlihat jelas dalam gores mimik wajah-wajah lugu itu. Mereka rajin pergi ke masjid, namun tidak pernah mereka beribadah di sana. Sungguh hal yang aneh, namun siapa yang peduli pada mereka. Suatu gambaran dari banyaknya manusia yang acuh terhadap nasib mereka. Dimasjid itu, mereka melihat banyak orang mengemis kepada Allah, namun anak-anak itu justru penuh harap memohon rezeki pada orang-orang yang pada dasarnya adalah pengemis. Anak-anak jalanan itu sering duduk menunggu dan melihat manusia sholat, namun mereka sendiri tidak tahu apa yang dibaca dalam tiap gerakan sholat. Mereka salah, tapi karena mereka tidak tahu, dan tidak ada orang yang mau memberi tahu. Alangkah menyedihkannya nasib mereka. Apakah mereka harus ikut merasakan sengsaranya akhirat setelah mereka puas dengan derita dunia? Ibadah, Islam, akidah, akhlak, atau mu’amalah, tentu mereka buta akan hal itu. Pertanyaan lugu mungkin akan keluar dari mulut mereka, makanan jenis apakah itu?

Memberikan sekeping receh kepada mereka memang sangat membantu. Namun kepingan itu tidak akan melepaskan diri mereka dari kesengsaraan hidup yang kian membelenggu. Kemiskinan memang masalah besar bagi mereka, namun kebodohan adalah penyakit pertama yang harus diobati dengan segera. Kalaupun kemiskinan selalu menghantui mereka hingga anak cucu, namun semoga kebodohan tidak terus hinggap hingga akhir hayat. Kita butuh kepedulian dari manusia-manusia yang berkemampuan cukup untuk meraih mereka agar lepas dari derita hidup. Nikmatnya sekolah harus mereka rasakan. Indahnya mengukir huruf dengan pena merupakan hak yang tidak boleh terlupakan. Kenangan indah tentang masa kecil harus terbangun sejak sekarang. Anak-anak jalanan itu butuh uluran tangan. Mereka tentu bosan jika hidup hanya berkutat di dalam lingkaran setan. Mereka terus saja berputar dalam kemiskinan dan kebodohan. Anak-anak jalanan itu harus ikut terbang sebagaimana anak-anak yang lain. Mereka harus punya mimpi-mimpi besar seperti halnya teman-temannya. Dimasa anak-anak ini, mereka hidup dalam permainan. Kelak, mereka juga akan merasakan cobaan hidup yang sesungguhnya. Jangan biarkan mereka hidup menderita disaat yang belum waktunya. Disaat masih banyak orang mampu yang bisa membantu anak-anak jalanan itu. Tentu kurang bijak jika terburu-buru menyatakan hal ini adalah takdir yang turun kepada mereka. Alasan yang terkadang menjadi pondasi bagi mereka yang malas, begitu mudah mengatakan hal ini takdir. Pernyataan seperti itu seringkali merupakan usaha untuk menutupi ketidakpedulian kita terhadap mereka. Tentu kerja keras harus diutamakan, karena sesungguhnya takdir berada diakhir usaha keras Anda. Semangat itu akan selalu ada. Kekuatan itu akan segera tumbuh. Kepalan tangan itu akan semakin tangguh. Lindungi mereka diawal hidupnya, sebelum mereka menyerah lalu dalam sekejap runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar