Minggu, 24 Oktober 2010

Hukum Hanya “Galak” Pada Rakyat Kecil

Catatan kisah pilu anak bangsa yang tertindas ketidakadilan hukum semakin panjang. Kali ini menimpa Rasminah binti Rawan (60).

Nenek yang hanya pembantu rumah tangga itu diseret ke meja hijau lantaran dituduh mencuri enam piring, setengah kilo daging sapi, dan pakaian bekas milik majikannya. Siti Aisyah Margarose Soekarno Putri, sang majikan mengadukannya ke polisi.

Sebelum menjalani tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang tanpa didampingi penasihat hukum, Rasminah sempat mendekam dua bulan di balik jeruji Lapas Wanita Tangerang dan dua bulan tiga hari di tahanan Polsek Metro Ciputat.

Nasib nenek warga Kampung Sawah Lama, Ciputat, Kota Tangerang Selatan itu, kini berada di balik nurani seorang hakim yang bakal memvonisnya. Rasminah dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Rasminah pun terancam dibui lima tahun.

Juga masih berbekas dalam ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi warga lemah berurusan dengan polisi. Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24 hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batang. Ketimpangan hukum pun dirasakan Nenek Minah. Warga Banyumas ini divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100.

Adapun kisah Basar Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil, keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Sempat pula merasakan pengapnya tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Bahkan, keluarganya mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta supaya kasusnya dihentikan.

Sementara kasus-kasus kakap yang melibatkan petinggi negara tak jelas juntrungannya. Buktinya, megaskandal BLBI atau bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun.

Hukum begitu keras terhadap warga lemah. Berbeda terhadap koruptor yang beberapa kali melakukan tindakan kejahatan selama menjabat posisi penting. Mereka dapat leluasa mengatur keinginannya dan bermain mata dengan aparat penegak hukum untuk memperingan sanksi.

Distorsi ini jelas menjadi sebuah ironi karena Indonesia menganut negara hukum. Negara yang menyatakan sebagai rezim taat pada hukum. Sayang, dalam prakteknya banyak terjadi ketimpangan pelaksanaan hukum yang menyolok mata tanpa ada koreksi.

Apa yang menimpa si pencuri piring, pencuri kapuk atau pencuri kakao menjadi bukti jika hukum telah disalahgunakan menjadi sekadar alat. Bukan lagi menjadi fondasi mendirikan norma dan sistem hukum dalam tatanan negara. Hukum telah dibajak dan senjata dalam barter kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Jadi sampai kapan hukum ini hanya “galak” terhadap rakyat kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar