Senin, 25 Oktober 2010

Jakarta

Sebetulnya, bagi saya selama ini, nyaris tidak ada satu pun hal yang menarik dari kota Jakarta. Satu-satunya yang saya suka adalah kerlap-kerlip lampu yang mewarnai Jakarta di malam hari. Itu saja.

Ah, ya … Jakarta memang menawarkan mimpi dan harapan. Pusat bisnis di Indonesia, sudah pasti Jakarta. Perputaran uang terbesar di Indonesia ada di Kota ini, yang zaman VOC berkuasa lebih dikenal sebagai Batavia. Semua fasilitas, ada di Jakarta. Gaji pegawai di sini, lebih besar dari kota lain. Meskipun, berbanding lurus juga dengan kebutuhan untuk hidup di Jakarta.

Bukan suatu kebetulan Jakarta menjadi Ibukota Indonesia, sebab sejak zaman Hindia Belanda, Batavia sudah menjadi pusat pemerintahan. Dan tidak tergantikan meskipun Jepang berhasil menguasai Indonesia. Hingga akhirnya bangsa Indonesia memiliki kembali negeri ini, Jakarta tetap menjadi pilihan untuk menjadi Ibukota. Meskipun dalam satu waktu, Yogyakarta pernah menjadi ibukota Indonesia, namun hal tersebut tidak berlangsung lama.

Kesan pertama saya bertahun-tahun lalu, ketika masih kecil, Jakarta panas. Dan itu membuat saya tidak betah. Pernah, saya bertekad, Jakarta adalah pilihan terakhir untuk mencari pekerjaan. Namun, toh, di Jakarta juga pekerjaan pertama saya. Meski pada akhirnya saya tidak bertahan lama juga, hanya 9 bulan. Atmosfir Jakarta bagi saya terlalu ‘keras’. Tidak pernah terpikir untuk bisa berlama-lama hidup di Jakarta. Kalau bisa, tidak perlu lah saya hidup di Jakarta. Biarlah orang lain saja yang berlomba-lomba hidup di kota ini. Jakarta bukan bagian saya dan hati saya juga tidak pernah ‘berada’ di sana, meskipun dengan resiko penghasilan saya tidak sebesar teman-teman yang bekerja di Jakarta.

Herannya, dalam beberapa bulan terakhir, saya malah lebih akrab dengan Jakarta. Meskipun tidak sampai jatuh cinta. Biasa saja. Ada kalanya dalam satu minggu, 3 kali bolak-balik Bandung-Jakarta. Semuanya karena tuntutan tugas dan profesionalisme. Selebihnya, karena saya suka perjalanan daripada ‘terkurung’ di kantor.

Beruntunglah Jakarta yang telah ‘melahirkan’ penulis sekaliber Alwi Shahab. Seorang penulis, mantan jurnalis Antara dan Republika. Lewat tulisan-tulisannya di Republika, yang kemudian dibukukan menjadi 4 buah judul buku, Alwi berhasil membawa gambaran tempo doeloe kota Jakarta ke masa kini. Melalui buku-buku berjudul “Robin Hood dari Betawi“, “Queen of The East“, “Saudagar Baghdad dari Betawi” dan “Maria van Engels Menantu Habib Kwitang“, Alwi menceritakan fakta sejarah yang menarik tentang tempat-tempat di Jakarta. Bahkan, saya jadi tertarik untuk mendatangi tempat-tempat yang diceritakan oleh Alwi dalam buku-buku tersebut. Meskipun, tetap tidak sampai membuat saya jadi berminat untuk tinggal di Jakarta, tapi setidaknya ada alasan lain yang menjadikan Jakarta menarik bagi saya.

Merujuk ke buku-buku tersebut, dalam banyak hal, Jakarta tempo doeloe masih lebih baik. Bahkan, bisa dikatakan, yang terjadi di Jakarta sekarang bukanlah sebuah kemajuan, tetapi sebuah kemunduran. Julukan Queen of The East, Ratu dari Timur, yang pernah melekat pada kota Jakarta (Batavia) adalah sebuah pengakuan. Bahkan, saat itu, orang-orang Singapura yang lebih tertarik untuk datang ke Batavia. Sedangkan sekarang, sebaliknya … orang Indonesia yang berlomba-lomba untuk ke Singapura.

Sepanjang membaca buku-buku tersebut, imaji saya bekerja. Membayangkan Batavia. Indah, meski saya tidak tahu pasti seperti apa Batavia yang sesungguhnya. Saya membayangkan seandainya Batavia dulu ada di masa kini, tentu menyenangkan. Walaupun di sisi lain, adalah sebuah fakta kelam juga bahwa di Batavia pernah terjadi pembantaian terhadap lebih dari 10000 orang etnis China. Juga sebuah fakta, selain julukan “Ratu dari Timur”, Batavia juga dikenal sebagai “Kuburan orang Belanda”, karena 25% orang Belanda yang datang ke Batavia, mati di kota tersebut.

Selain itu, Batavia juga pernah mendapat julukan “Venesia dari Timur”, karena banyaknya kanal-kanal di kota tersebut. Karena sungai dan kanal-kanal tersebut merupakan salah satu sarana transportasi yang cukup vital di Batavia. Itulah sebabnya, Jakarta sekarang menjadi rawan banjir, karena banyaknya kanal-kanal air yang sudah berubah bentuk. Fakta lainnya, ternyata memang sejak dulu juga kawasan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang, terkenal sebagai daerah ‘hitam’, terutama urusan prostitusi.

Satu lagi fakta yang sebetulnya sangat ironis. Meskipun warga Betawi adalah penduduk asli kota Jakarta, namun Jakarta tidak pernah benar-benar menjadi milik mereka. Satu contoh saja, nama jalan. Nyaris sulit didapati nama jalan yang diambil dari ‘pahlawan’ Betawi. Padahal, sesungguhnya banyak warga Betawi yang berjuang untuk mengusir penjajah dari kota tersebut. Hal tersebut, dianggap sebagai sikap toleran warga Betawi yang sejak dahulu sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Meskipun, saya berpendapat, hal tersebut karena ketidakberdayaan warga Betawi karena kurangnya -atau bahkan tidak adanya- kesempatan dalam sektor pemerintahan. Saat ini, cukup sulit mendapati warga Betawi yang tinggal di tengah Kota. Sebagian besar ‘terusir’ ke daerah pinggiran Jakarta.

Satu buku lain karya Ridwan Saidi, sejarahwan dan budayawan asli Betawi, juga sahabat Alwi Shahab. Buku tersebut berjudul “Anak Betawi diburu Intel Yahudi“. Sebuah cerpen yang berlatar belakang budaya Betawi, juga disisipi beberapa fakta tentang Jakarta tempo doeloe, terutama gambaran Jakarta tahun 50-70an. Meskipun, buku tersebut tidak memuat fakta sejarah sebanyak buku-buku Alwi Shahab. Namun, buku tersebut bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengenal Jakarta tempo doeloe.

Sisa-sisa peninggalan Batavia, masih bisa ditemukan di kawasan sekitar Stasiun Kota, berupa gedung-gedung peninggalan VOC. Sebab kawasan Kota dulunya merupakan pusat kota Batavia, itu sebabnya disebut Kota. Namun, setelah Daendels berkuasa, pusat kota dipindahkan ke kawasan sekitar Monas, Senen dan Masjid Istiqlal sekarang. Pemindahan pusat kota disebabkan sudah mulai padatnya kawasan Kota dan mulai mewabahnya berbagai macam penyakit, diantaranya Malaria.

Setelah membaca buku-buku tersebut, setiap kali ke Jakarta, mata saya mulai tertuju ke gedung-gedung lama, atau nama-nama jalan. Setiap kali menemukan nama gedung atau jalan yang diceritakan dalam buku-buku tersebut, spontan hati saya berkata, “oh, ini tempat terjadinya bla bla bla …“, atau “oh, di sini ternyata daerah yang dulu bla bla bla…“. Selebihnya, Jakarta masih belum mampu membuat saya jatuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar