Senin, 25 Oktober 2010

Kekerasan pada Anak karena kurang Edukasi



Orang tua memukul anak adalah kejadian yang sering kita temui sehari-hari. Suatu hal yang dikatakan lumrah bila bertujuan untuk mendidik anak. Bagi orang tua cara mendidik anak adalah hak prerogratif mereka. Terserah mereka bagaimana caranya.

Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani, dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak. Dari hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak.

Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing. Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan.

Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa. Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani, spontan mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum. Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian hari.

Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif. Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat merasakan manfaatnya.

Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita melakukan hal yang mendekati harapan kita. Dalam mendidik anak orang tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih hukuman fisik untuk mencapai harapannya?

Mungkin hal ini dikarenakan pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan. Yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya.
Tentu lingkaran itu dapat berlangsung karena masyarakat merasakan manfaatnya. Akan tetapi apakah semua anak dapat diberlakukan sama?

Ternyata tidak selalu. Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan. Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa ia diberikan hukuman fisik tersebut. Terutama bila anak diminta bertentangan dengan proses perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah merupakan suatu hal yang wajar. Dan bila hal ini berlangsung terus menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada melakukannya.

Banyak ahli psikologi anak juga meragukan efektifitas hukuman fisik pada anak. Misalnya saja James Dobson, dalam bukunya Dare to Dicipline. Ia menekankan hukuman fisik tidak akan mencegah atau menghentikan anak melakukan tindakan yang salah. Hukuman fisik ini justru bisa berakibat buruk. Bahkan, dapat mendorong anak untuk meneruskan dan meningkatkan tingkah lakunya yang salah. Ahli lainnya, Leonard D. Eron, dalam riset yang dilakukannya menunjukkan hukuman fisik malah mendorong anak untuk bertingkah laku agresif.

Tentu kita tidak menginginkan generasi agresif yang dapat bersifat destruktif. Lingkaran hukuman fisik pada anak sudah seharusnya dihentikan. Sebab mendidik anak tidak harus dengan kekerasan.

Bila kita setuju dengan istilah mencegah lebih baik dari pada mengobati, maka kita perlu langkah nyata untuk mencegah kekerasan pada anak. Pemahaman masyarakat dapat ditingkatkan melalui media promosi. Terkait erat di dalamnya adalah media massa sebagai pembentuk opini masyarakat. Sudah saatnya generasi baru penuh cinta kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar