Minggu, 24 Oktober 2010

Lampu Kuning Buat Eksekutif - Legislatif

Setahun umur pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono diwarnai dengan banyaknya aksi unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat. Pengunjuk rasa menilai pemerintahan SBY – Boediono gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Tapi, benarkah penilaian seperti itu? Tentu saja ada benarnya kalau kita melihatnya dari besarnya angka penduduk miskin, ditambah jumlah pengangguran semakin meningkat sejalan dengan kian langkanya lapangan kerja, lemahnya penegakan hukum, semuanya itu mendukung hipotesis semakin rendahnya tingkat kesejahteraan dan kepuasan rakyat.

Kita menilai kondisi maraknya aksi unjuk rasa merupakan lampu kuning buat eksekutif. Buruknya citra eksekutif akibat kurangnya pengawasan dari legislatif. Jadi, rapor merah buat pemerintahan SBY itu juga merupakan andil dari legislatif yang lemah dalam melakukan kontrol.

Berarti lampung kuning juga buat legislatif. Terkesan selama ini, legislatif hanya dijadikan sebagai lembaga wakil rakyat nan semu karena faktanya jauh dari tugas membela rakyat. Rakyat hanya dijadikan tameng dan objek belaka, karena agenda peningkatan kesejahteraan rakyat kurang mendapat perhatian dari eksekutif maupun legislatif.

Jadi, meskipun pemerintah mengklaim angka kemiskinan berkurang, jumlah pengangguran berkurang, masyarakat yang kritis cenderung tidak percaya. Sebab, parameternya tidak jelas, jauh dari valid. Apalagi biaya hidup semakin mahal sehingga untuk bisa makan 2-3 kali sehari bagi rakyat kecil sudah sangat berat.

Banyak di antara rakyat kecil yang sudah makan hanya sekali saja sehari, bahkan tanpa diimbau mengurangi makan nasi pun mereka sudah makan ubi dan jagung. Justru itulah wajar muncul banyak aksi unjuk rasa muncul di berbagai kota besar di Indonesia ketika memperingati genap setahun pemerintahan SBY – Boediono kemarin.

Hemat kita, munculnya rasa tidak puas masyarakat terhadap kinerja eksekutif tidak lepas dari kinerja legislatif yang kian melemah, sehingga perannya hampir sama saja seperti di masa rezim Orde Baru, hanya sebagai stempel pemerintah. Apa-apa yang dimaui pemerintah selalu ditindaklanjuti, bukan dikritisi.

Pada akhirnya eksekutif dalam hal ini Presiden SBY pun memaksakan kehendaknya, hanya mencalonkan satu nama saja untuk mengangkat pejabat tinggi negara, seperti dalam kasus Komjen Pol Timur Pradopo dan sebelumnya Laksamana Agus Suhartono (Panglima TNI).

Anehnya, pengiriman hanya satu pejabat itu untuk dilakukan ‘fit and proper test’ pun tidak dikritisi dengan sungguh-sungguh, hanya formalitas dan pura-pura. Padahal, banyak sisi lemah dari sang calon yang dinilai kurang dalam ‘leadership’ dan banyak tersangkut kasus seperti kerusuhan HAM semasa menjabat Kapolres Jakarta Barat tahun 1998/1999 dan kerusuhan Ampera ketika menjabat Kapolda Metro Jakarta dua pekan lalu. Kesimpulan akhir DPR: semua fraksi setuju Timur Pradopo sebagai Kapolri. Begitu pula dengan pengajuan calon tunggal Panglima TNI.

Kini sudah sulit mengharapkan eksekutif dan legislatif bekerja dengan serius guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masing-masing lembaga sudah ‘’syoor’’ sendiri dalam menjalankan amanah rakyat. Kalau Presiden SBY cenderung menyepelekan DPR hal itu sah-sah saja karena orang-orang yang duduk di lembaga wakil rakyat merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, sehingga Presiden lebih banyak melakukan negosiasi dengan orang nomor satu di parpol, atau memanjakan Satgab Koalisi Pendukung Pemerintahan SBY-Boediono. Jika komunikasi dengan pimpinan parpol dan Setgab berjalan kondusif, maka peranan anggota legislatif menjadi kerdil di mata eksekutif. Itulah yang terjadi sekarang ini.

Harusnya, eksekutif dan legislatif, begitu juga judikatif, dan lembaga tinggi lainnya harus mandiri, menjalankan fungsinya dengan benar. Ketiga lembaga tinggi negara itu tidak boleh ‘’kompak’’ apalagi sampai ‘’berkoalisi’’ dan ‘’berkolusi’’ karena kalau mereka kompak maka matilah yang namanya hukum dan demokrasi di negeri ini. Eksekutif bisa seenaknya menjalankan roda pemerintahan tanpa takut dikontrol legislatif, apalagi bakal diadili oleh judikatif.

Mandulnya fungsi kritik DPR memang sangat disayangkan. DPR lebih banyak ‘’berkoar-koar’’ tanpa hasil sehingga eksekutif seenaknya bekerja mengabaikan kepentingan rakyat. Semestinya lembaga tinggi negara mana pun juga menjadi sasaran kritik DPR, termasuk Presiden. Kalau saja fungsi mengontrol eksekutif dijalankan dengan baik oleh DPR mungkin aksi unjuk rasa tidak perlu terjadi karena elemen masyarakat merasa sudah terwakili. Publik pun mengajungkan dua jempol buat DPR.

Sewajarnya kalau rakyat kecewa dengan lembaga-lembaga tinggi negara, khususnya eksekutif dan legislatif kita. Kondisi hukum dan perundangan kita terbilang lemah sehingga DPR bukan saja tidak mandiri tapi juga banyak menghabiskan anggaran, seperti jalan-jalan ke luar negeri, renovasi rumah, bahkan meminta uang aspirasi segala. Setali tiga uang dengan eksekutif dan judikatifnya.+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar