Minggu, 24 Oktober 2010

Masalah Aceh Saat Ini

Beberapa elemen Aceh menuding bahwa keterlambatan penerbitan PP dan Perpres sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan UU PA dan MoU Helsinki

Kelanjutan perdamian Aceh pasca lima tahun perundingan damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) MoU Helsinki 15 Agustus 2005 menarik untuk dipelajari. Bagaimanakah prospek dan kendala yang dihadapi dalam mempertahankan perdamaian dikaitkan dengan dinamika perkembangan Aceh yang dapat mempengaruhi perdamaian di kemudian hari.

Kesadaran akan penderitaan akibat konflik yang panjang sekitar 30 tahun serta indahnya perdamian selama lima tahun pasca MoU Helsinki telah mendorong semua pihak di Aceh untuk tidak lagi menengok masa lalu dan lebih mempertimbangkan perjuangan pembangunan di alam perdamaian.

Para elit eks GAM bersikap pragmatis dengan mengedepankan pemikiran apa saja yang sudah diperoleh dari perdamian itu dan apa saja yang masih harus diperjuangkan bagi kesejahteraan warga Aceh.

Perkembangan situasi aktual Aceh itu sendiri semakin kondusif, kegiatan pemerintahan Aceh yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) berjalan normal, pelayanan publik dapat terselenggara.

Di sektor keamanan tanpa kendala, peringatan HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010 terselenggara di 23 kabupaten/kota tanpa gangguan dan bahkan para kepala daerah yang sebagian berlatar belakang eks GAM pun turut menjadi inspektur upacara.

Para eks petinggi GAM pun tampak hadir pada upacara peringatan HUT RI ke 65 di Istana Negara Jakarta, setelah sebelumnya pada 15 Agustus 2010 di Four Season Hotel Jakarta menghadiri peringatan 5 tahun MoU Helsinki.

Tentang sikap elemen masyarakat Aceh itu paling tidak tersirat dari pernyataan Malik Mahmud (mantan PM GAM) yang disampaikannya dalam suatu diskusi di Jakarta pada 23 September 2010. Malik Mahmud pada kesempatan itu mengatakan, pihak Aceh (GAM) dapat menerima tawaran perdamaian Aceh dalam NKRI dan meninggalkan inspirasi (harapan) untuk merdeka.

Karena adanya kesediaan pemerintah RI untuk memberikan hak-hak yang diminta Aceh. Sikap Aceh tersebut harus tetap didukung pemerintah dan pemerintah harus berusaha untuk tidak mengecewakan rakyat Aceh dengan memenuhi janjinya agar tidak ada lagi korban jiwa dari semua pihak.

Diakui pula oleh Malik Mahmud bahwa gangguan keamanan oleh kriminalitas memang masih terjadi. Namun konflik fisik antara eks GAM dengan TNI/Polri yang sangat ditakuti warga Aceh sudah tidak ada lagi. Situasi keamanan yang kondusif ini harus dimanfaatkan untuk pembangunan Aceh.

Yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah adanya pihak-pihak yang ingin menjadikan Aceh sebagai basis latihan kegiatan teroris. Namun, kegiatan teroris di Aceh tidak berhasil karena rakyat Aceh tidak mendukung kegiatan mereka.

Sementara itu, masalah yang masih dipersoalkan oleh pihak Aceh adalah belum diterbitkan beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai turunan dari UU PA. Beberapa elemen Aceh menuding bahwa keterlambatan penerbitan PP dan Perpres tersebut sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan UU PA dan MoU Helsinki. Sikap kritis ini harus disikapi secara arif, dan menganggapnya sebagai ungkapan kehendak untuk segera dapat memperoleh peluang memajukan perekonomian dan kesejahteraan warga Aceh yang memang sempat mengalami ketertinggalan akibat konflik panjang.

Namun untuk masalah ini, pemerintah telah memberikan klarifikasi tentang langkah-langkah yang telah ditempuh dalam implementasi UU PA, seperti pembentukan PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh, PP No 58 Tahun 2009 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh, Kabupaten dan Kota, PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas, Wewenang dan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah, serta Perpres No. 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional dan Perpres No.11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga/Badan Di Luar Negeri. Sedangkan mengenai PP dan Perpres lainnya disebutkan penyusunannya akan berproses terus dan diagendakan selesai pada akhir 2010.

Penyusunan PP atau Perpres sebagai implementasi UU PA dan MoU Helsinki sebenarnya bukan merupakan batu sandungan dalam melanjutkan dan memelihara perdamaian, namun lebih pada perlunya komunikasi dan konsultasi yang intens antara Daerah dan Pusat, dimana keduanya harus bertindak pro aktif untuk mengatasi kendala-kendala teknis dalam perumusan RPP atau Rancangan Perpres yang akan diterbitkan, Pusat dan Daerah harus mampu memanfaatkan data dan dokumen yang ada di instansi terkait yang ada di Pusat dan Daerah serta mengawal pembahasan secara bersama-sama.

Melihat kondisi objektif dari perkembangan aktual Aceh termasuk perilaku elit eks GAM yang konsisten terhadap perdamian, serta kendala yang dihadapi dalam implementasi UU PA yang kiranya dapat segera diatasi, maka dengan sikap optimistis dapat diharapkan perdamaian Aceh dalam bingkai NKRI di masa depan akan bergerak ke arah yang lebih kontrukstif dalam perwujudan kesejahteraan warga Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar