Minggu, 24 Oktober 2010

Membangun Ekonomi Rakyat

Konsep ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan lahir bersamaan dengan gerakan reformasi. Ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil yang juga sering disebut sektor informal. Ekonomi rakyat diganti dengan ekonomi kerakyatan untuk dapat dimasukkan ke dalam TAP MPR, yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998.

Ekonomi Rakyat merupakan kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupan rakyat. Mereka yang melakukan kegiatan itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil, dan lain-lain. Modal usahanya merupakan modal keluarga dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar. Ekonomi rakyat tumbuh secara natural, karena sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apa pun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan peluang pasar. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi. Oleh karena itu, ekonomi rakyat dipandang juga dengan istilah ekonomi sosial (social economics) dan ekonomi moral (moral economics), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin. Jadi, ekonomi rakyat bukan istilah politik “populis” yang dipakai untuk mencatut atau mengatasnamakan rakyat kecil.

Dalam ruang ekonomi nasional terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang dilakukan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Mereka Memiliki modal besar dan akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan manajemen usaha modern. Namun, mereka tidak digolongkan dalam ekonomi kerakyatan, karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Akan tetapi, golongan kedua ini biasanya lebih banyak tumbuh, karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa untuk memperoleh kemudahan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu system ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha besar yang melahirkan praktikpraktik anti persaingan.

Dari pemahaman di atas, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya berbasis ekonomi rakyat, karena mencakup 99% dari total jumlah unit usaha (bussiness entity), menyediakan sekitar 80% kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65% kegiatan distribusi, serta tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) yang sekitar 65%nya dikuasai oleh usaha terbesar, menyebabkan kontribusi nilai produksi dan ekspor kegiatan ekonomi rakyat relatif lebih kecil.

Peran ekonomi rakyat teraktualisasi pada masa krisis multidimensi. Kita pasti masih ingat dan bisa belajar dari pengalaman masa krisis moneyter 1997/1998. Pelaku ekonomi rakyat dengan mengandalkan hasil bumi yang dikelola dengan modal relatif kecil justru mampu bertahan, bahkan memberikan kehidupan lebih baik dibandingkan dengan ekonomi yang dibangun oleh pengusaha besar.

tuhoe 2 peutimang - angkat boat (Small)Perhatian Pemerintah

Perhatian serius dari pemerintah untuk membangun ekonomi rakyat menjadi sangat penting sebagai asset membangkitkan ekonomi, baik daerah maupun nasional. Di sisi lain, pemberdayaan ekonomi rakyat akan mendorong terserapnya tenaga kerja yang tinggi. Telah banyak yang dilakukan pemerintah dalam membangun ekonomi rakyat, tapi upaya itu belum menunjukkan hasil signifikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurnanya dengan konsep ekonomi kerakyatan? Seharusnya semua pihak perlu mendukung implementasi kebijakan usaha kecil dan menengah yang diambil pemerintah sesuai dengan TAP MPR. Pembangunan mesti dikembangkan dengan ekonomi domestik (jika perlu pada daerah kabupaten/ kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, keterbukaan/ demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan.

Dalam konteks Aceh, konflik dan bencana tsunami telah membuat keterpurukan ekonomi drastis. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi, MOU 15 Agustus 2005, dan diiringi lahirnya Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, seharusnya memberikan danmenjadikan harapan baru untuk menata dan membangkitkan ekonomi rakyat bermuara pada peningkatan ekonomi daerah. Oleh karenanya, perlu digarisbawahi, ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk mengubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang sangat membela para pengusaha besar. Perubahan terhadap ekonomi rakyat hendaknya dilaksanakan dengan benarbenar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata, serta mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar