Minggu, 24 Oktober 2010

Mengapa Engkau Tinggalkan Aku dalam Kegelapan, Wahai Ayahku?

Kebahagiaan seseorang sesungguhnya tidak bisa diukur dan dinilai dengan materi atau dengan apa pun yang ia miliki dan kuasai. Kebahagiaan yang hakiki hanya bisa dirasakan oleh hati, jiwa dan perasaan mereka sendiri. Ketika kita melihat orang lain terlihat bahagia dengan apa yang mereka miliki, kita hanya bisa menyaksikan kebahagiaan mereka dari luar saja. Sedangkan apa yang mereka rasakan sesungguhnya, tidaklah kita mengetahuinya. Apakah ia memang benar-benar bahagia ataukah semuanya hanyalah sikap semu karena melindungi statusnya saja. Mungkin hal itu tidaklah perlu kita untuk mengetahuinya. Yang penting bagi kita adalah bagaimana kebahagiaan yang hakiki itu dapat kita genggam.

Kesenangan dunia adalah mata panahnya syaitan bagi kaum wanita, sedangkan wanita dan kekuasaan adalah mata panahnya syaitan bagi kaum laki-laki (Allahu ‘Alam bi Showab). Hal inilah yang menimbulkan suatu persoalan yang mungkin bisa kita kaji lebih dalam dan kita bisa memaknai apa yang sedang terjadi pada diri mereka. Ketika manusia telah dirasuki kemegahan dunia, mereka yang lalai dan jauh dari petunjuk-Nya akan tertutup mata hatinya dan akan diselimuti dengan kegelapan yang nyata.

Adalah pernyataan seorang yang kaya raya, yang telah memiliki semua kenikmatan dunia, yang memiliki kekuasaan yang besar, yang memiliki apa yang orang lain tidak memilikinya. “Mengapa engkau tinggalkan aku dalam kegelapan, wahai Ayahku?”. Saya hanyalah seorang penulis awam dan buta ilmu pengetahuan, akan mencoba menelusuri apa maksud perkataan tersebut dan mengapa pernyataan itu terucap dari mulut seorang yang kaya raya? Dengan penalaran biasa , maka ada beberapa kata yang terucap darinya yaitu “tinggalkan aku” dan “kegelapan”. Kalimat “tinggalkan aku” mengandung makna bahwa dirinya telah ditinggalkan sesuatu oleh Ayahnya. Dan kata “kegelapan” adalah menggambarkan bahwa dirinya sedang berada dalam kehampaan jiwa, kekosongan hati, dan kebutaan pikiran.

Sehingga jika penulis (yang awam ini) menyatukan makna dari pernyataan tersebut, maka akan didapat gambaran bahwa Ayahnya telah meninggalkan, mewariskan, memberikan dan menguasakan kepada anaknya itu kenikmatan dunia dengan segala pernak-perniknya. Tetapi dengan semua kekayaan dan kekuasaan yang ia miliki, ia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Hatinya kosong, jiwanya hampa, pikirannya buta dan ia tidak bisa menikmati apa yang sedang terjadi padanya. Hartanya tidak bisa menentramkan hatinya, kekayaannya tidak bisa mendamaikan jiwanya, dan kekuasaan tidak bisa membuka jalan pikirannya. Hal inilah yang membuat orang tersebut merasa selalu ada dalam kegelapan.

Lalu kenapa sang Ayah meninggalkan semua itu pada buah hatinya tercinta? Seorang Ayah tentunya ingin memiliki dan melihat buah hatinya berada dalam kesenangan, kebahagiaan dan tentunya ia mengharapkan kehidupan anaknya akan lebih baik dibanding dengan dirinya. Seorang Ayah yang telah digenggam jiwanya dengan kenikmatan duniawi, ia pun sesungguhnya berada dalam kegelapan seperti anaknya. Ketika kesenangan menguasai dirinya, ia lalai dan lupa dengan apa yang seharusnya ia berikan dan tanamkan pada buah hatinya. Sehingga anaknya pun berada dalam kemewahan dunia namun jiwa dan hatinya berada dalam kegelapan.

Apa yang seharusnya sang Ayah berikan dan tanamkan pada buah hatinya? Dalam kasus seperti di atas, adalah sangat bijak dan bertanggung jawab jika orang tua lebih menanamkan nilai-nilai agama, ilmu juga nilai-nilai kehidupan yang luhur. Sesungguhnya nilai-nilai agama, ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang luhur akan menjadi penentu kehidupan seorang manusia seandainya mereka termasuk orang yang diamanahkan kesenangan duniawi. Sehingga dengan nilai-nilai agamanya dia bisa menyikapi semua anugerah-Nya untuk disyukuri dan dinikmati. Dengan keimanannya, dia bisa merasakan manisnya semua kenikmatan yang menimpa dirinya. Ilmu dan pengetahuannya dapat menjaga harta kekayaan dan jabatan yang diamanahkan-Nya. Dengan ilmunya, dia bisa mengelola semua kekayaannya dengan baik dan dengan pengetahuannya ia bisa mempertahankan bahkan menambah kekayaannya. Nilai-nilai kehidupan yang luhur seperti norma-norma yang berlaku di masyarakat, akan menjadikan dirinya lebih peka terhadap sesama terutama dengan mereka yang kurang mampu. Rasa ingin berbagi dengan sesama pun akan muncul tatkala nilai-nilai agama, ilmu dan juga nilai-nilai luhur kehidupan telah menjadi bagian dari jiwanya.

Apa yang tersirat dalam ucapan “Mengapa engkau tinggalkan aku dalam kegelapan, wahai Ayahku? Memberikan pelajaran kepada kita, bahwa hendaknya kita menanamkan, meningalkan dan memberikan sesuatu yang terbaik buat keturunan-keturunan kita, yang tiada lain adalah nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur kehidupan, agar keturunan-keturunan kita tidak berada dalam kegelapan suatu saat nanti. Sesungguhnya jika orang tua memberikan dan menanamkan nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur kehidupan kepada putra putri tercintanya, Insya Allah putra-putri kita bisa menjaga harta dan martabatnya. Tetapi jika orang tua hanya menanamkan dan memberikan harta dan segala kenikmatan dunianya, sesungguhnya harta dan kekayaannya tidak akan bisa menjaga keturunan kita dari kegelapan dan kebahagiaan semu.

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, terutama penulis yang awam dan buta ilmu ini, Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar