Minggu, 24 Oktober 2010

Operasi Yustisi Kependudukan Memicu Disintegrasi Bangsa

Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap rakyat miskin secara besar-besaran dan serentak di lima wilayah di DKI Jakarta pada 23 dan 30 Oktober 2008. Operasi ini tetap akan dilakukan oleh pemerintah daerah meskipun mendapat penolakkan dari beberapa kelompok, termasuk Komnas HAM. Operasi Yustisi Kependudukan memang dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh beberapa kelompok dan institusi negara lainnya.

Sikap Pemda DKI Jakarta yang tetap akan melakukan OYK dapat dinilai buta akan wawasan hukum, melanggar kosntitusi, dan tidak menghargai HAM. Persoalan administrasi kependudukan sebaiknya mengacu pada UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dimana setiap warga negara berhak mendapatkan dokumen kependudukan baik secara nasional maupun lokal, seperti KTP, dan berhak pindah ke wilayah manapun di Indonesia. Setiap warga negara yang migrasi ke wilayah lain berhak mendapatkan Surat Keterangan Pindah dan Surat Keterangan Pindah Datang yang digunakan sebagai dasar Penerbitan KTP dari Instansi Pelaksana (Pasal 15 ayat 1, 2, 3, 4). Mengacu pada UU tersebut, Perda No.4 tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil harus segera direvisi dan Operasi Yustisi Kependudukan yang akan dilaksanakan pada 23 dan 30 Oktober harus dibatalkan. Selain itu, persoalan administrasi kependudukan jangan disandingkan dengan persoalan urbanisasi. Sehingga, seakan-akan Operasi Yustisi merupakan obat mujarab untuk menurunkan intensitas dan kuantitas urbanisasi. Persoalan urbanisasi hanya bisa diselesaikan dengan pemerataan sumber daya di desa-desa dengan memperkuat sektor pedesaan.

Operasi ini selain cacat hukum dan tiap tahun memperlihatkan tindakan sewenang-wenang, represif, dan diskriminatif terhadap rakyat miskin, juga sudah mulai memunculkan potensi disintegrasi antar daerah, kota dan desa. Beberapa orang dan kelompok di daerah-daerah menolak keras adanya operasi ini, bahkan akan bertindak keras terhadap para “pendatang” dari Jakarta begitu tiba di daerah-daerah, sekaligus sebagai bentuk protes yang ditujukan kepada Pemda DKI Jakarta dan kepada Pemerintah Pusat. Dapat disimpulkan bahwa potensi disintegrasi bangsa karena sentimen terhadap kebijakan OYK yang dilakukan Pemda DKI Jakarta dengan melarang warga daerah untuk tinggal dan bekerja di Jakarta akan terjadi saat OYK benar-benar dilaksanakan. Penangkapan dan pengusiran rakyat miskin ke daerahnya masing-masing dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan hinaan suku di daerah masing-masing. Dikhawatirkan juga memicu konflik horisontal yang meluas antar daerah karena pemerintah daerahnya begitu totaliter dan fasis.

Tuntutan:

1. Hentikan dan batalkan Operasi Yustisi Kependudukan

2. Revisi Perda Perda No.4 tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang disesuaikan dengan UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, konsitusi, dan HAM

3. Pemerintah Pusat harus mengambil alih persoalan OYK dengan memertemukan Kepala-kepala Daerah untuk membicarakan pemerataan sumber daya di pedesaan sebagai penangkal dari urbanisasi

4. Pemerintah Pusat harus tegas menghentikan OYK di beberapa kota karena bertentangan dengan konstistusi dan mencederai HAM

5. Ciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan upah yang layak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar