Minggu, 24 Oktober 2010

Politik Pencitraan Misi Kemanusiaan

Sama-sama musibah. Indonesia dilanda musibah banjir bandang di Wasior, Papua Barat dengan korban 200 orang lebih tewas/hilang, dengan 80 persen sarana infrastruktur kota rusak berat. Sementara Chile dilanda musibah runtuhnya tambang emas dan batubara tanpa korban jiwa.

Wajar saja kalau pujian mengalir buat Presiden Chile Sebastian Pinera atas kepeduliannya terhadap 33 pekerja tambang yang sudah dua bulan lebih terkubur di bawah tanah sedalam hampir 700 meter.

Memang luar biasa perhatian sang presiden untuk mengupayakan satu operasi penyelamatan menggunakan kapsul penyelamat bernama ‘Phoenix’ terbuat dari baja seberat 420 kg dengan tinggi 1,9 meter yang didisain khusus oleh teknisi Badan Antariksa Amerika (NASA) bersama teknisi AL-Chile.

Berkat kesungguhan akhirnya kerja keras itu membuahkan hasil gemilang kemarin. Seluruh pekerja tambang berhasil diselamatkan dalam operasi kemanusiaan yang berlangsung sangat dramatis itu. Tidak sia-sia upaya sang presiden. Satu persatu para pekerja dapat diangkat ke permukaan. Peluk cium dan tangisan pun pecah.

Siapa orang yang sangat berbahagia atas operasi penyelamatan 33 pekerja tambang itu? Tentu saja saja sang presiden.

Popularitas Sebastian Pinera mendadak terkenal ke seluruh dunia. Apalagi media massa mengikuti sepak terjangnya, bahkan ia rela tidak cukup tidur sepanjang malam agar bisa melihat satu per satu penambang yang diselamatkan dengan menggunakan kapsul.

Tak pelak lagi, empati yang ditunjukkan Pinera selama operasi penyelamatan itu turut melambungkan popularitasnya. Apalagi sang presiden termasuk salah satu orang terkaya di Chile pintar pula memanfaatkan media untuk menaikkan citranya sebagai pemimpin. Berkat upaya penyelamatan bersejarah itu citra Presiden Chile Sebastian Pinera melambung.

Para pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Barack Obama memberikan pujian atas upaya kemanusiaan itu. Presiden Bolivia Evo Morales langsung bertemu Pinera dan ikut meninjau operasi penyelamatan, karena satu di antara para pekerja tambang itu terdapat warga Bolivia.

Hemat kita, kalau musibah yang sama terjadi di Indonesia, sangat kecil kemungkinan upaya penyelamatan mencapai hasil maksimal, mengapa? Pertama karena operasi penambangan tidak terencana dengan matang. Kalau di Chile terdapat ‘’bunker’’ keselamatan, lengkap dengan persediaan cadangan makanan dan minuman, serta obat-obatan, pada umumnya penambangan di Indonesia lebih didominasi amatiran alias tradisional, kecuali di Freeport, sehingga kalau terjadi musibah runtuh langsung tidak bisa diselamatkan lagi.

Kedua, di Chile keselamatan penambang betul-betul diperhatikan. Sekalipun pengeboran untuk memasukkan kapsul ‘Phoenix’ akan menyebabkan lebih dari 4.000 ton batu dan reruntuhan jatuh ke terowongan langsung ke dasar dekat ‘’bunker’’ para pekerja tambang berlindung, tetap saja hambatan itu dapat diatasi. Jadi, meski drama kemanusiaan itu memakan waktu lama--dua bulan lebih--hasilnya ‘’happy ending’’.

Lain halnya dengan yang dilakukan Presiden SBY di Wasior. Rombongan Presiden tiba Kamis (14/10) pagi dan langsung menuju TKP, menyaksikan dahsyatnya bencana banjir bandang di sana. Wasior sudah seperti kota mati.

Keterlambatan SBY datang kem, lokasi bencana Wasior menimbulkan kritikan, apalagi kemudian Presiden mengeluarkan statement di Jakarta bahwa bencana itu bukan diakibatkan penebangan hutan secara serampangan atau ‘’illegal logging’’. Baru setelah dikritik banyak pihak SBY buru-buru mengunjungi Wasior.

Presiden pun langsung memerintahkan para pejabat mengerahkan alat-alat berat dan pasukan Zeni dari TNI untuk membantu proses pemulihan lokasi bencana banjir bandang tersebut.

Sedih memang melihat nasib korban banjir bandang Wasior yang tidak ‘’terurus’’ meskipun sudah berlangsung sepekan. Pasokan bantuan terlambat dari pusat maupun daerah-daerah karena memang letaknya cukup jauh di Papua Barat sana.

Hemat kita, tepat kalau Presiden menginstruksikan agar tanggap darurat penanganan banjir bandang di Wasior diperpanjang dua pekan dari rencana semula. Sebelumnya proses tanggap darurat banjir Wasior dijadwalkan berlangsung 10 hari, 8-18 Oktober. Dengan adanya penambahan waktu dua pekan maka proses tanggap darurat itu baru berakhir pada akhir Oktober nanti.

Mudah-mudahan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan kembali kota Wasior, seperti sarana umum jalan, rumah penduduk, pendidikan, kesehatan dll segera dapat diwujudkan.

Saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) menampung sedikitnya 4.771 pengungsi. Ribuan pengungsi itu tersebar di beberapa lokasi pengungsian di Manokwari. Jumlah pengungsi terbanyak di kompleks Balai Latihan Kerja Manokwari 1.245 orang. Kemudian di Lapangan Kodim Manokwari 972 orang. 2.554 pengungsi lainnya tercatat melakukan pengungsian mandiri, atau kembali ke keluarga masing-masing di kawasan Manokwari. BNPB juga mendata 355 pengungsi ditampung di Nabire. 2.652 pengungsi lain bertahan di Wasior, tempat bencana banjir bandang terjadi.

Kita berharap pemerintah serius membantu para korban Wasior, bukan untuk politik pencitraan semata. Tidak salah kalau kita mencontoh misi kemanusiaan yang sukses dilakukan Presiden Chile.+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar