Minggu, 24 Oktober 2010

“Potret Kehidupan Masyarakat Miskin”, Catatan Seorang Faskel KMW XVI

Kali ini Pusinfo menampilkan cerita yang berasal dari kumpulan tulisan salah seorang Fasilitator Kelurahan (Faskel) KMW XVI, Haris Yuniarsyah yang bertugas di Srengat Blitar, Jawa Timur. Secara garis besar, kumpulan cerita ini menunjukkan kebanggaan di balik keprihatinan Haris dalam menatap kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Dengan sentuhan kepekaan human interest yang tinggi, tulisan Haris mampu menyentuh keharuan mereka yang membaca. Setelah ditayangkannya cerita ini, diharapkan Faskel lain akan tergerak dan semakin peduli terhadap alam sekitarnya. Tidak hanya itu, Pusinfo juga berharap Faskel lain akan beramai-ramai aktif mengirimkan tulisan mengenai pengalaman mereka di lapangan. Pusinfo akan mengedit seperlunya tanpa menghilangkan inti cerita.

Sepeda Kumbang Sang Relawan

Baru saja aku berencana menulis tentang dirimu. Secara mengejutkan Tuhan mengirim engkau ke tempatku. Benar-benar seperti keajaiban. Engkau datang ke tempatku, dengan baju batik kesukaanmu menempel di badan.

Semangatmu begitu menggebu. Tak nampak sedikit pun kelelahan di wajahmu. Padahal, baru saja engkau mengayuh sepeda kumbangmu sejauh 3 kilometer. Itulah rentang jarak dari tempatmu ke tempatku.

Aku sangat bangga dan salut melihat semangat belajarmu yang tinggi. Begitu tulusnya niatmu mengabdi kepada masyarakat desamu. Selamat berjuang Pak Nurrohim… (Medio 21 November 2005, pukul 10:10 WIB)

Lelaki Tua Kumal, Tapi Mulia

Siang itu terik matahari menyengat tubuh. Rasa dahaga begitu mendera, namun tertahan niat puasa. Kakiku melangkah ke sebuah tempat di jalanan dusun dadapan, Desa Dermojayan. Dalam perjalanan itu, sesuatu menyita perhatianku. Secara tak sengaja mataku tertumbuk pada sesosok pria renta—berumur sekitar 60 tahunan—tengah melakoni kehidupannya.

Yah, seorang bapak tua yang membuat mataku nyaris menitikkan airmata haru. Pria tua berbaju lusuh dan kumal. Dalam kesendiriannya, sang bapak melangkah gontai, menapaki perjalanan panjangnya, mencari hidup. Beban yang ia pikul tampak begitu berat. Hingga tubuhku serasa lumpuh, ikut merasakan beban yang beliau tanggung.

Namun, ia tampak lebih mulia. Karena, aku yakin, Tuhan menyayangi beliau dalam usianya yang telah senja. (Medio Oktober 2005, pukul 13:00 WIB)

Anak Relawan dan Lampu Tempel

Malam itu di dusun Bening, kelurahan Togogan, kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Waktu menunjukkan pukul 19:30 WIB ketika aku melangkah, mengunjungi rumah salah seorang relawan.

Rumah sederhana, terletak di pinggiran sawah. Aku pun mengetuk pintu. “Assalamu'alaikum..” seruku. Kudukku sempat meremang, mengingat di luar rumah sangat gelap, karena tidak ada penerangan yang menyinari rumah. Tiba-tiba, pintu dibuka. Seorang perempuan yang sudah agak tua menjawab salamku, “Wa'alaikumsalam.”

Bapak wonten, Bu?” (Bapak ada, Bu?) tanyaku.
Oh, bapak mboten wonten, ten griyone Pak RT. Pinarak riyen, Mas?” (Oh, bapak nggak ada, sedang keluar di rumah Pak RT. Silakan masuk dulu, Mas?) jawab si Ibu, ramah.

Saat sang Ibu membuka pintu lebih lebar, aku tertegun. Di dalam rumah tersebut, aku melihat dua anak kecil sedang tekun belajar hanya dengan lampu tempel sebagai penerangan. Kakaknya yg berumur sekitar 11 tahun, duduk merapat, membimbing adiknya yg baru masuk kelas satu SD, untuk belajar membaca dan menulis. Aku begitu terharu melihat pemandangan itu.

Ya Allah, kabulkanlah cita-cita dua anak manusia itu. Agar kelak mereka bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Amiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar