Minggu, 24 Oktober 2010

Rawan Pangan: Ironi "Negeri Agraris" !

Kekeringan melanda ratusan hektare sawah di Kecamatan Kupang Timur, NTT, akibat berkurangnya debit air di daerah itu. Petani mengharapkan Pemkab Kupang dapat membantu menyediakan pompa air agar mereka terhindar dari gagal panen.-www.satudunia.net/.../ perubahan-iklim&page=5
Ancaman "rawan pangan" yang terjadi di Kabupaten Sumba Tmur, NTT; kelihatan nya tidak mungkin kita tutup-tutupi lagi. Walau kita membenci istilah rawan pangan, namun suka atau pun tidak, ternyata istilah itu kini mengemuka dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah sebab pokok nya, mengapa dibalik kisah sukses swasembada beras, kita perlu merenung ulang dan mencermati kembali kondisi dan kualitas swasembada beras yang kita raih.

Hal ini penting kita lakukan, karena andaikan saja banyak daerah yang terlanda rawan pangan seperti hal nya yang menimpa Kabupaten Sumba Timur, NTT, maka bisa saja suasana yang demikian bakal "meruntuhkan" proklamasi sdwasembada beras sebagaimana yang telah diikrarkan Pemerintah. Bila hal ini benar-benar terjadi, tentu nya tidak terlampau berlebihan, sekira nya ada pihak-pihak tertentu yang menyebut nya sebagai "ironi kehidupan" di negeri agraris.

Rawan pangan, acapkali mengemuka menjadi isu nasional. Rawan pangan, bukanlah sebuah keadaan yang didambakan. Rawan pangan, tidak boleh dipelihara atau bahkan dilestarikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bahkan, kalau kita mau jujur, setelah proklamasi swasembada beras, mesti nya kita tidak perlu lagi mendengar ada nya sebutan rawan pangan. Pertanyaan nya adalah mengapa di tengah-tengah "kehebatan" para petani menggapai swasembada beras, ternyata terekam pula adanya kehidupan kaum tani yang rawan pangan, gizi buruk, dan lain sebagai nya lagi. Lebih mengenaskan lagi adalah adanya berita bahwa lebih dari 50 %, penerima program beras untuk masyarakat miskin (Raskin) adalah mereka yang beratributkan petani dan nelayan.

Sekira nya kita tengok suasana kehidupan yang sedang tercipta, mesti nya tidak ada lagi istilah rawan pangan. Akan lebih pas jika kita menyebutnya dengan kalimat "rawan daya beli". Memang, kita sering di buat rancu dengan istilah "rawan pangan" dan "rawan daya beli". Masalah nya akan semakin kompleks, jika dalam sebuah kehidupan masyarakat ditemukan ada nya kondisi rawan pangan sekaligus rawan daya beli. Kondisi alam nya tidak mendukung dan keadaan ekonomi masyarakat nya pun sangat memprihatinkan. Dalam bahasa kemiskinan, masyarakayt tersebut terjebak dalam suasana kemiskinan alamiaj dan kemiskinan buatan secara berhimpit.

Sebagai negeri yang sering disebut "negara agraris", sebetul nya kita patut untuk "malu diri", kalau sekarang ini masih terdengar ada warga masyarakat yang terkena suasana rawan pangan. Lebih mengenaskan jika keadaan itu terjadi di sebuah masyarakat yang jelas-jelas dikenali sebagai daerah sentra produksi pangan. Istilah "tikus mati di lumbung padi", memaksa kita untuk sejenak mengerutkan dahi dan mencari tahu apa yang tengah terjadi.

Harus nya, setelah kita berani mendeklarasikan menjadi negeri yang mampu berswasembada beras, maka sejak saat itulah kita harus sama-sama berani menutup buku "rawan pangan". Sebab, kalau saja kita masih menyaksikan ada nya warga bangsa yang didera rawan pangan, maka menjadi serius untuk dijawab, bagaimana nasib nya dengan swasembafa beras yang pernah kita proklamasikan tahun 1984 dan 2008 lalu itu ?

Swasembada beras sendiri inti nya dicirikan oleh kemampuan diri sendiri dalam menghasilkan produksi beras yang terpenuhi dari dalam negeri. Selain itu, beras tersebut dapat terdistribusi secara merata ke berbagai pelosok daerah dan harga nya pun terjangkau oleh masyarakat. Ciri penting lain nya adalah tidak ada nya lagi impor beras, baik yang sifat nya politis atau pun komersil. Malah akan lebih afdol jika mampu dilaksanakan ekspor beras ke negara-negara yang membutuhkan.

Mengacu pada pemikiran yang demikian, jelas terungkap bahwa resiko proklamasi swasembada beras, mesti nya secara nasional tidak perlu lagi ada warga bangsa yang terlanda rawan pangan. Kalau rawan daya beli, ya mungkin saja. Oleh karena itu, terdengar mengharukan jika ditengah-tengah kebanggan kita dengan atribut swasembada beras, bahkan kini sedang berjuang keras untuk meraih swasembada pangan itu, ternyata masih diberitakan adanya masyarakat yang terancam rawan pangan.

Rawan pangan, walau pun lebih pas kita sebut sebagai kondisi rawan daya beli, sebetul nya bukan suasana yang perlu untuk dipelihara, apalagi jika dijadikan "proyek" dalam pembangunan. Rawan pangan adalah musuh pokok pembangunan yang harus kita gempur secara serius. Rawan pangan merupakan aib bagi sebuah bangsa yang sudah dikenali sebagai bangsa yang mampu berswasembada beras.

Untuk semua itulah, penanganan rawan pangan, jangan terkesan ibarat "pemadam kebakaran" atau sekedar "belas kasih", namun sudah sepatut mampu dirancang secara sistemik, holistik dan komprehensif. Kita harus berani menggunting sumber masalah nya, dan tidak hanya sekedar menangkap di ujung nya saja. Disini tentu sangat dibutuhkan adanya "harmonisasi" diantara para pihak yang terlibat di dalam nya.

Kehadiran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, mesti nya berani melakukan "terobosan" cerdas dalam memberi solusi atas kondisi rawan pangan yang hampir setiap tahun menghiasi berita media massa. Selain itu, penanganan rawan pangan, juga harus selalu terkait dengan upaya pemberdayaan dan pemartabatan masyarakat. Termasuk semangat untuk melakukan pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat itu sendiri.

Rawan pangan, kini sudah saat nya diselesaikan secara serius dan tidak hanya setengah hati. Kita berharap agar antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, mampu menjalin diri secara lebih nyata dan faktual, bukan hanya sekedar wacana atau tataran kebijakan semata. Rawan pangan, tidak mungkin tertuntaskan jika kita melakukan pendekatan dengan "mengecat langit", namun yang lebih pas adalah langkah yang "menapak bumi". Ya... Ke arah sana lah kita sebaik nya menuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar