Senin, 25 Oktober 2010

Anak Jalanan dan Penyakit Sosial

“Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri”

(Al – Qur’an)

Suatu kali, Presiden Korea berkunjung ke Timur Tengah. Dia melakukan kunjungan kenegaraan. Sang presiden, melewati gerbang istana kepresidenan. Dia membaca sebuah tulisan, kutipan ayat Al – Qur’an berbahasa Arab. Beliau bertanya, apa maksud tulisan itu. Seorang menjelaskan, makna ayat itu. Dia terkesima, membawa kutipan ayat itu ke negaranya. Dia merubahnya, “Allah tidak akan mengubah keadaan rakyat Korea, sampai rakyat Korea mengubah nasibnya sendiri”

Cuplikan kisah di atas, melukiskan perubahan itu keniscayaan. Manusia tidak selamanya miskin, perputaran kehidupan pasti terjadi. Pendidikan misalnya, dapat mengubah harkat dan derajat manusia menuju kehidupan lebih baik.

Anak Jalanan, generasi terpinggirkan

Baiklah, penulis ingin mengajak anda bertualang. Memasuki lorong kehidupan, masuk ke wilayah kumuh dan marginal. Kita ingin memotret getir kehidupan anak bangsa. Anak yang lahir sebagai pemilik sah bangsa. Melihat kembali kondisi penuh kegundahan dan ketidakpastian. Kondisi kesedihan akibat dampak kemiskinan yang menggurita.

Setiap manusia normal pasti memiliki jiwa sosial dan kepekaan nurani. Melihat kesenjangan sosial di masyarakat, hatinya tentu merasakan kesedihan mendalam. Timbul keresahan dan perasaan bergejolak melihat adanya perampasan hak manusia. John Locke berkata “ kecuali hak – hak dasar manusia yang bersifat umum, yaitu hak akan kehidupan, hak akan kemerdekaan dan hak akan milik, manusia juga memiliki hak untuk hidup layak. Adalah tugas negara untuk memberikan hidup layak bagi warganya.

Keresahan pertanda masih ada kepekaan nurani. Sehingga bukan tak mungkin menggerakan hati manusia. Jika itu terjadi, maka kesadaran terbangun dan membuat manusia bergerak melakukan perubahan. Terbentuk komunitas dan gerakan swadaya memperbaiki keadaan yang memburuk. Berkaitan kondisi masyarakat miskin dan anak jalanan, ada tiga ranah utama yang bisa dikembangkan : gerakan pendidikan budaya, gerakan swadaya ekonomi, gerakan kesehatan dan lingkungan, terakhir gerakan solidaritas sosial. (Ignatius Sandyawan, 2005)

Membaca dinamika sosial membuat kita jadi manusia perasa. Hati mudah luluh dan sedih melihat adik kecil harus sibuk bekerja. Tidak sekolah dan sibuk mencari uang, naik turun mengamen di bus kota. Secara psikologi jelas mereka terganggu, pendidikan terbengkalai sehingga berpotensi melahirkan penyakit sosial. Kriminalitas merebak dan kejahatan mengancam masyarakat. Berbagai pelanggaran sosial tak pernah berhenti. Semua itu dituding karena kemiskinan, sehingga melahirkan komunitas baru bernama anak jalanan.

Di tengah kerumitan menghadapi masalah anak jalanan, pemerintah bergerak lamban. Tak jarang penanganan masalah berjalan reaktif, temporal dan diskriminatif. Misalnya setiap hari, kita melihat adanya razia anak jalanan. Mereka ditangkap, dijebloskan ke panti sosial. Sesudah dirasa cukup pembinaan, kawanan anak jalanan dilepaskan. Ironis, tapi begitulah fakta di lapangan.

Suatu hari penulis berjumpa seorang adik kecil. Dia bercerita mengapa mengamen di bus kota. Semata mengejar kebutuhan perut. Masalah ekonomi jadi alasan utama. Tak jarang pula, hasil mengamen yang tak seberapa banyak dirampas. Ada upaya sistematis “memelihara” anak jalanan sebagai komoditas layak jual. Kondisi diperparah orang tua yang tidak mau tahu, bahkan lebih mengharapkan sang anak bekerja. Seakan orang tua mereka mengatakan“ lupakan sekolah dan pergi sana mengamen. Cari duit buat makan”

Menghadapi problematika anak jalanan, paling tidak ada fakta yang menarik dicermati, penulis berusaha memotret lebih dekat fakta itu. Sebuah kenyataan getir, akibat kegagalan pemerintah menyejahterakan masyarakat.

Kegalalan negara

Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan sebagai hak fundamental. Kewajiban ini dibebankan kepada negara bertujuan agar rakyat sejahtera. Secara konstitusi, hak dasar itu dipertegas misalnya “ negara wajib menganggarkan 20% APBN”. Sebuah semangat yang menegaskan, adanya tanggung jawab penguasa terhadap rakyat yang dipimpinnya. Alokasi anggaran menandakan kesejahteraan rakyat melibatkan sinergitas negara dan rakyat.

Ironisnya dalam kasus anak jalanan, banyak dari mereka kehilangan (tepatnya dirampas) haknya oleh negara. Satpol PP sebagai alat negara, menindas, memukuli dan memeras para pengamen. Sebuah bentuk kezaliman dipertontonkan dengan dalih, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Sebuah pertanyaan besar, mengapa masyarakat kecil selalu ditertibkan dan dijadikan korban. Kemarginalan dan takdir hidup, sudah miskin, dicaci mendapat perlakuan diskriminatif pula.

Mengemis dan Mengamen untuk Makan

Eksistensi anak jalanan menyiratkan sebuah keresahan atas fenomena ganjil pada masyarakat.Timbul keresahan, maraknya anak jalanan berkonotasi positif terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat.Kita melihat bagaimana anak kecil mengamen di bus kota, perempatan lampu merah atau terminal. Bekerja keras, demi mengumpulkan recehan untuk menyambung hidup.

Permasalahan mendasar berakar pada kebutuhan ekonomi. Mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi. Mengemis, mengamen dan memalak seakan menjadi tradisi kehidupan mereka. Ironisnya pemerintah terkadang mengambil jalan pintas menghadapi masalah ini. Razia anak jalanan sering dilancarkan, tapi tetap gagal mengatasi persoalan. Sebab pendekatan represif lebih diutamakan daripada pendekatan berbasis kemanusiaan, ekonomis atau pendidikan.

Sepantasnya pemerintah mengambil tindakan preventif (mencegah) bukan kebijakan tambal sulam. Razia anak jalanan dilanjutkan pengiriman ke panti sosial merupakan solusi instan. Ada baiknya pemerintah menempuh pendekatan ekonomi. Misalnya membagun komunitas wirausaha kreatif anak jalanan.

Kami Manusia, Bukan Binatang

Masyarakat terlanjur mengecam kehidupan dan aktivitas anak jalanan. Berbagai stigma negatif diberikan terhadap perilaku mereka. Pelabelan malas, kotor, penuh kekerasan, rawan, bodoh sulit dilepaskan. Kita cenderung antipasti dan menolak eksistensi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Seakan sudah nasib anak jalanan menjadi generasi terhinakan.

Lebih menyakitkan, tuduhan sebagai sampah masyarakat melekat erat. Bagi manusia umumnya, anak jalanan adalah penjahat, pencopet, tukang palak. Kondisi ini berpotensi mempengaruhi efek psikologis. Bukan tak mungkin, mereka jadi kebal atas berbagai stigma negatif. Akibatnya perilakunya semakin menggila dan cenderung apatis terhadap sekitarnya.

Kita sering mendapati anak jalanan, tidak hanya mengemis. Mereka menodong penumpang bus, mengamen dengan memaksa dan berbagai kejahatan lain. Citra sebagai kaum terpinggirkan dan kemiskinan struktural membuat mereka terpaksa melakukan itu. Sementara masyarakat mencap jelek, tanpa ada upaya mau memahami psikologis dan kondisi yang melatarbelakanginya.

Membaca kondisi menyedihkan marginalisasi anak jalanan, sepantasnya kita memunculkan pertanyaan mendasar. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?. Sebab rasanya pemerintah tak lagi bisa diandalkan menghadapi serbuan masalah anak jalanan. Kompleksitas penyakit sosial ini seolah menemukan solusi tanpa akhir. Setiap berusaha melahirkan sebuah gagasan dan solusi konstruktif,masalah baru selalu menghadang.

Kemampuan membaca masalah memang lahir karena belum ada upaya serius pemerintah. Penanganan anak jalanan masih gali lubang tutup lubang. Belum ada upaya integral membenahi komunitas anak jalan secara kreatif dan produktif. Rendahnya pendidikan baik sang anak dan orang tua juga belum menggambarkan upaya serius mengentaskan maraknya anak jalanan terutama di kota besar.

Penulis sendiri menyarankan, setidaknya pemerintah membangun tiga basis mengatasi problematika anak jalanan.

Pertama, membangun basis pendidikan alternatif berbasis anak jalanan. Pada dasarnya anak jalanan rela turun ke jalan dan bekerja karena dua faktor. Pertama rendahnya pendidikan sehingga mengakibatkan rendahnya kesadaran mendapatkan kesempatan hidup layak. Timbul sinergitas pendidikan yang berbanding lurus dengan ekonomi. Makin rendah pendidikan maka makin terbuka peluang terciptanya kemiskinan secara ekonomi.

Pembangunan pendidikan alternatif dipandang penting, tentu menyesuaikan kebutuhan dan persepsi mereka tentang dunia pendidikan. Misalnya kurikulum yang fleksibel dimana menekankan proses pembelajaran berorientasi mengentaskan pemberantasan buta huruf. Penekanan lebih mengarah pada belajar calistung. Jika memungkinkan, sang anak memiliki minat melanjutkan pendidikan dan berpretasi diberikan beasiswa atau melanjutkan ke program pendidikan kesetaraan.

Tak boleh dilupakan, pendidikan kecakapan hidup. Jika mereka terbiasa pagi mengamen ada baiknya mereka diajarkan lagu yang baik. Pendidikan kepribadian berupa perilaku santun perlu juga ditumbuhkan. Misalnya mengucapkan salam (bagi yang muslim) sebelum mengamen, tidak memaksa penumpang dan menjauhi perbuatan mengarah pada kriminalitas yang merugikan orang lain.

Kedua, membuat sanggar anak jalanan sebagai sarana menumbuhkan kreativitas dan produktivitas. Potensi anak jalanan sebenarnya banyak dan harus terus digali sehingga menimbulkan kesadaran mereka mampu dan layak bersaing. Ada sebagian suka menyanyi, dibuatlah program seni musik dan tari. Setiap akhir bulan diikutkan kompetisi menyanyi atau menari. Ada yang menyukai sablon, ajarkan mereka menyablon kaos sehingga menghasilkan uang memenuhi kebutuhan hidup.

Ketiga, melakukan pendekatan intensif dalam menghadapi kenakalan dan ulah anak jalanan. Selama ini pola razia menghasilkan paradigma destruktif, kontradiktif dan bersifat incidental. Belum menyentuh akar persoalan, dimana setiap digelar razia maka berujung sang anak “dijebloskan” ke panti sosial. Ironisnya kegiatan itu berlangsung formalitas sebab setelah mendapatkan sedikit banyak pengarahan sang anak kembali dilepaskan. Tak heran mereka kembali turun merasakan aspal jalanan.

Kondisi memprihatinkan ini, disebabkan pemerintah gagal membuat pola pendekatan persuasive. Alangkah baiknya, sang anak jalanan diberdayakan secara manusiawi. Ketika tertangkap razia, diserahkan ke panti sosial untuk dibina dan dididik lebih dekat. Misalnya membuat pelatihan wirausaha atau keterampilan lain yang lebih berguna. Sehingga masalah “perut” sebagai akar persoalan fundamental dapat teratasi. Jika ini sudah berjalan, pemerintah dapat mengarahkan untuk menyentuh aspek pendidikan sehingga meningkatkan taraf hidup mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar