Minggu, 24 Oktober 2010

EKONOMI RAKYAT DALAM POLITIK, SERTA MASA DEPAN KOPERASI

Perbincangan mengenai ekonomi rakyat semakin santer terdengar seiring dengan terpuruknya ekonomi ala orde baru yang lebih berpihak kepada pengusaha besar. Walaupun intensitas perbincangan belum dapat menggambarkan keberpihakan yang sebenarnya. Namun isu populis ini telah mengangkat kembali eksistensi koperasi sebagai bentuk kristalisasi ekonomi yang berbasis ekonomi kelompok bawah. Bukti dari pada itu adalah meningkatnya keinginan masyarakat untuk mendirikan koperasi dimana-mana. Dari kalangan ibu-ibu yang tinggal di komplek perumahan sampai kepada kelompok pengusaha-pengusaha kelas menengah yang ingin memanfaatkan situasi di pasar karena hengkangnya pengusaha yang selama ini menjadi leader market ke luar negeri.
Popularitas koperasi belakangan ini juga tidak hanya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan dengan kebutuhan dan naluri bisnis, seperti kelompok ibu-ibu dasa wisma ataupun kelompok entrepreneur, akan tetapi juga merangsang kelompok lain untuk kepentingan yang tidak terlalu signifikan dengan kepentingan langsung ekonomi masyarakat, misalnya politiknya. Bagaimana suatu kelompok orsospol peserta pemilu yang lalu memanfaatkan koperasi sebagai medium komunikasi politik pada masa kampanyenya. Demikian pula, kita menyaksikan bagaimana kepentingan politik bermain dalam persaingan untuk memperoleh posisi ketua Dekopin.
Sejarah Politisasi Ambivalen
Fenomena “pemanfaatan” koperasi untuk kepentingan politik bukanlah hal yang baru. Sejak ide koperasi mulai diperkenalkan dalam khasanah ekonomi rakyat di Indonesia sampai pada masa pemerintahan orde baru, koperasi tidak pernah lepas dari muatan dan nuansa politis. Bank perkreditan rakyat, sebagai embrio koperasi, lahir dari pemikiran seorang patih di Purwokerto, sebagai seorang “birokrat” tentu saja kebijaksanaan yang diambil tidak mungkin lepas dari kepentingan politiknya. Demikian pula pada jaman setelah itu, koperasi dengan baju lain bernama kumiai dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Jepang sebagai “mesin keruk” sumberdaya pangan yang sangat diperlukan oleh balatentara Dai-Nipon yang tengah berlaga pada PD II.
Setelah merdeka pun koperasi penuh dengan muatan politis, Undang-undang nomor 14/64 yang mengatur kehidupan koperasi penuh dengan nuansa politik yang dianggap menguntungkan pemerintahan orde lama. Dengan pertimbangan muatan politik yang lekat dalam koperasi, pemerintahan orde baru segera mengganti undang-undang tersebut dengan undang-undang yang baru, yakni UU nomor 12 tahun 1967. Namun kehadiran undang-undang inipun tidak lepas dari kepentingan strategi ekonomi orde baru yang pada saat itu mulai diterapkan. Pada beberapa bagian undang-undang ini mengundang ketidakjelasan dan memperbesar potensi konflik antar pelaku koperasi. Ketidakjelasan dan konflik internal yang timbul di kalangan insan koperasi, ternyata dimanfaatkan benar oleh pihak pengusaha non-koperasi untuk melakukan hegemoni ekonomi melalui konspirasi dengan kekuasaan.
Bertahun-tahun insan koperasi mendiskusikan sustansi Bab III pasal 3 UU 12/67, mengenai definsi koperasi, yang dianggap menjadi kendala dalam pembangunan koperasi. Berpuluh-puluh kali seminar digelar untuk membahas implementasi peran pemerintah yang tepat dalam menggulirkan organisasi dan kemandirian koperasi. Kala diskusi dan seminar itu usai, kemudian lahir Undang-undang nomor 25 tahun 1992, harapan untuk mendinamisasi kehidupan koperasi pun lebih menggumpal, namun pada aat itupula, potensi ekonomi dan peluang usaha sudah dikuasai habis oleh pengusaha-pengusaha tertentu. Yang atas restu rejim yang berkuasa, melakukan praktek-praktek bisnis tidak wajar seperti monopoli, oligopoli, monopsoni, dan oligopsoni. Maka yang terjadi kemudian, koperasi hadir setiap malam di TVRI dalam pidato dan temuwicara pejabat, namun tidak pernah hadir dalam realitas proses perbaikan kesejahteraan rakyat.
Pada masa orde baru, hubungan penguasa dengan rakyat memang tidak pernah akrab. Bagi sebagian orang, pembangunan sering di interpretasikan dan dimaknai sebagai marjinalisasi rakyat kecil. Dan pembangunan koperasi adalah lantunan “nina-bobo” yang lebih berciri retorika politik ketimbang komitmen kesejahteraan rakyat.
Reorentasi Keberpihakan
Di luar realitas politik, secara nalar re-orentasi ekonomi ke arah populis cukup bisa diterima. Hal itu dapat dijelaskan, sebagai berikut.
Pertama, distorsi terhadap amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut selama + 30 tahun memang sebaiknya diakhiri, karena teori tetesan kebawah (trickle down affect) terbukti tidak efektif untuk menciptakan kemakmuran masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Kedua, potensi produktif rakyat sangat besar, sebagian besar (+ 75%) adalah pengusaha kecil yang memiliki hak dan potensi untuk secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi pengusaha menengah.
Ketiga, fundamen ekonomi nasional yang tangguh membutuhkan partisipasi seluruh potensi masyarakat. Asumsi dasar orentasi ini adalah, perekonomian rakyat yang dilola oleh rakyat kecil dan relatif lemah, tak harus membentuk citra pesimistis, karena mereka berpotensi untuk kuat karena jumlahnya sangat banyak dan berproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal (dalam negeri).
Dalam dimensi politis keberpihakan ekonomi pada rakyat adalah sebuah keniscayaan dalam menyongsong masyarakat Indonesia baru. Karena syarat-syarat demokrasi politik membutuhkan conditio sine quanon berupa kehidupan ekonomi rakyat lebih mapan. Tidak bisa kita bayangkan, ekonomi kita bisa mendukung demokrasi politik kalau orang terjebak dalam kemiskinan absolut dan dalam jumlah yang besar. Dalam kata lain, bila demokrasi ekonomi tidak disandingkan dengan demokrai politik, maka yang terjadi adalah radikalisasi sosial dan anarki.
Sejauh pengamatan penulis sampai saat ini, komitmen keberpihakan itu telah nampak pada partai-partai besar pemenang pemilu. PDI perjuangan, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN masing-masing dalam program ekonominya, melihat pemberdayaan ekonomi rakyat -dimana koperasi di posisikan sebagai intrumentasi penting- sebagai materi utamanya. Sehingga dalam tataran komitmen, pembangunan koperasi telah memperoleh jaminan yang tegas, namun berdasarkan pengalaman masa lalu, komitmen saja tidak cukup. Masih dibutuhkan elaborasi komitmen sehingga bangsa ini tidak lagi terjebak pada lubang yang sama, yakni menempatkan koperasi sebagai komoditi politik semata dan melupakan fungsi substansinya. Ada baiknya kita ingat, keledai pun tidak pernah mau terperoksok pada lubang yang sama.
Masa Depan Koperasi: Perspektif Politik
Tidaklah mudah melihat masa depan implementasi pembangunan koperasi pada pemerintahan yang akan datang. Sesukar meneropong sosok pemerintahan pasca Sidang Umum nanti. Sebuah pelajaran pertama yang berharga dalam berdemokrasi bagi bangsa kita adalah, selama mekanisme konstitusional belum sepenuhnya dilalui, maka sepanjang itu pula kepastian itu belum bisa diperoleh. Sejauh ini wacana politik kita telah menyodorkan kekuatan dikotomis dengan dua kutub ekstrimnya pada PDI Perjuangan dan Partai Golkar, atau Megawati dan Habibie. Dalam konstelasi pembangunan koperasi, dua kekuatan itu memiliki konsekwensi rasional yang agak berbeda.
Habibie sebagai bagian dari komunitas politik, tidak dapat lepas dari stigma pemerintahan masa lalu yang menempatkan koperasi tidak lebih sebagai instrumentasi politik ketimbang instumentasi ekonomi. Secara pribadipun tidak mempunyai track record yang patut dikedepankan dalam pembangunan koperasi di masa lalu. Namun harus diakui ia mempunyai kekuatan yang siap mem-back up bila pemerintahannya yang berkuasa. Tokoh-tokoh muda dari partai berlambang beringin ini tidak sedikit yang secara langsung terjun dalam pembangunan koperasi dan memiliki komitmen yang kuat. Namun masalahnya, sejauh mana tokoh-tokoh potensial itu dapat berperan dalam kabinet mendatang, karena bila yang terjadi adalah pemerintahan koalisi maka sudah barang tentu yang terjadi adalah kompromi antar partai. Sehingga boleh jadi pos-pos bidang ekonomi dalam kabinet tidak ditempati oleh kader potensial partai ini. Hasil kompromi yang mengarah ke arah itu bisa terjadi, sebab capability dan credibility kader partai lain kemungkinan lebih dapat diandalkan untuk memperbaiki kinerja ekonomi yang lebih luas.
Megawati memiliki tenaga andalan dalam bidang ekonomi, demikian pula citra yang dibentuk selama kampanye sebagai partainya masyarakat tertindas, dapat menjadi dorongan yang kuat dalam mengimplementasikan komitmennya kepada masyarakat kecil. Namun dalam mewujudkan komitmen ekonomi rakyat, dan juga koperasi, cenderung agak berbeda dengan pemerintahan yang ada saat ini. Laksamana Sukardi menentang keras konsep redistribusi aset yang saat ini mulai diterapkan oleh Adi Sasono, maupun Muslimin Nasution dalam kasus HPH. Menurutnya redistribusi aset seperti konsep komunis (Kontan,21 Juni 1999). Sementara Kwik Kian Gie yang cenderung ke free market –kecuali idenya dalam exchange rate- beranggapan implementasi kebijaksanaan ekonomi kerakyatan yang diambil saat ini cenderung berpotensi menciptakan distorsi pasar. Kecenderungan itu terjadi karena sistem yang dikembangkan kemungkinan akan menciptakan entry barrier dalam memasuki pasar. Melihat dari kenyataan tersebut, akan terjadi diskontinuitas dalam pembangunan koperasi pada era ini.
Apapun hasilnya sidang umum nanti tampaknya harus diantisipasi kemungkinan perubahan tuntutan kinerja koperasi seiring dengan meningkatnya tantangan untuk memperhatikan kehidupan ekonomi rakyat. Allah SWT pun senantiasa memihak pada orang-orang tertindas yang susah hidupnya, kaum mustad’afin. Dan Allah SWT mengajarkan bahwa do’a orang kecil yang tertindas itu, tanpa sekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar