Minggu, 24 Oktober 2010

Menguak Kehidupan Anak Jalanan (1): Ayah-ibunya pun Orang Jalanan

Kehidupan anak jalanan (anjal) biasanya dipengaruhi oleh lingkungan atau bahkan ada yang mengikuti jejak orangtuanya turun-temurun. Maka tak heran seorang anjal sudah mencari uang sejak bayi.

Minggu (10/1/2010) siang kemarin pemandangan di perempatan Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tidak berbeda dengan hari-hari biasanya. Ketika lampu lalu lintas menyala merah, sejumlah anjal berhamburan menghampiri pengendara mobil yang berhenti. Mereka menjulurkan tangan--sebagian bertepuk tangan dan sebagian lainnya sambil mengelus-elus perut--sebuah ungkapan yang menggantikan kalimat "aku lapar".

Pemandangan lainnya, ketika seorang ibu ikut menjulurkan tangan kanannya, sementara tangan kiri menahan kain yang menutupi tubuh bayinya--sebuah ungkapan kasih seorang ibu yang sedang melindungi bayinya dari terik matahari.

Sebagian pengendara tidak memedulikan para anjal ini, tapi ada juga pengendara yang memberi uang receh. Bagi sebagian pengendara, uang itu memang sudah dipersiapkan untuk keperluan seperti ini.

Begitu lampu lalu lintas menyala hijau, para anjal ini menyingkir. Ibu yang menggendong bayi ataupun yang sendirian ikut menyingkir. Sebagian naik ke jalur hijau, sebagian lagi kembali ke pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala kembali. Para pengendara yang sudah memberi uang receh maupun yang tidak punya kepedulian juga melanjutkan perjalanannya.

Bagi pengendara yang tidak memberi uang receh bisa jadi takut dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum) di DKI Jakarta atau sebagian lagi memang tak peduli. Sesuai perda, pemberi kepada pengemis bisa didenda atau hukuman kurungan.

Itulah pemandangan sekilas di persimpangan Permata Hijau. Masih banyak lagi anjal yang meminta-minta, antara lain di kawasan Cempaka Putih, Cideng, Harmoni, Tomang, Slipi, dan lainnya.

Rahmat (bukan nama sebenarnya), seorang anak baru berumur delapan tahun juga ikut menghambur ke jalan begitu lampu lalu lintas menyala merah. Anak ini juga ikut mencari makan. Dia mengaku, ayahnya, seorang bapak jalanan dan ibunya, seorang ibu jalanan. Ia mengatakan dibiarkan orangtuanya hidup dengan cara seperti ini.

Menurut Rahmat, sejak bayi dia sudah ikut mencari makan dengan cara menangis dalam gendongan. Sekarang mereka sudah berpisah. Masing-masing mencari makan di tempat terpisah. Ayah dan ibunya mengemis di tempat lain, dan dirinya di perempatan Permata Hijau.

Rentan kekerasan

Menjadi anjal rentan dengan aksi kekerasan. Kasus tragis yang terjadi Sabtu (9/1/2010) menimpa Ardiansyah (9), seorang bocah anjal dimulitasi ayah asuhnya, Baekuni alias Babeh (48). Orang ini yang sering menyediakan tempat baginya untuk berlindung dan merasa aman menginap serta bermain. Namun, Baekuni hendak memanfaatkan korban untuk melakukan hasrat seksualnya yang menyimpang, sodomi.

Menurut Sekertaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, banyak sekali anak-anak yang bahkan dipaksa turun ke jalan untuk mencari nafkah dengan mengemis atau mengamen, oleh orangtua mereka. Sehingga mereka menjadi anjal yang tak pernah diurus, apalagi mengenyam pendidikan.

Menurut Arist, menyuruh atau menjual anak untuk mencari uang sama saja mengeksploitasi. "Sehingga termasuk dalam tindakan pidana dan orangtuanya bisa ditangkap," jelasnya.

Belum lagi mereka harus menghadapai berbagai kekerasan seksual, seperti perkosaan, pelecehan, dan sodomi. Bahkan, setelah menjadi korban sodomi, para anjal ini cenderung bisa menjadi pelaku sodomi pada usia remaja menjelang dewasa.

Dijelaskan Arist, harus ada evaluasi menyeluruh terkait banyaknya kekerasan terhadap anjal, baik dari polisi, dan pemerintah. Menurutnya, keberadaan rumah singgah juga tidak menjamin seorang anjal bebas dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar