Minggu, 24 Oktober 2010

PENGERTIAN EKONOMI RAKYAT

Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.
Jadi EKONOMI RAKYAT : Perekonomian yang bersifat kerakyatan dan asas kekeluargaan atau Demokrasi Ekonomi; sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.
Dan oleh Bp. Prof. Dr. Mubyarto,, dalam suatu seminar (2002) tentang EKONOMI RAKYAT INDONESIA memberikan difinisi (sebagai bab khusus dalam makalahnya), sbb.:
Pertanyaan amat penting dihadapan kita sekarang, pada pertemuan pertama seri seminar 6 bulan pendalaman ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98). Berkali-kali, dan dalam berbagai kesempatan, saya mendapat pertanyaan apakah konsep ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang akan didalami ini sama dengan konsep Adi Sasono saat menjabat Menteri Koperasi pada Kabinet Habibie. Pada saat pertemuan pakar-pakar ekonomi di Bank Indonesia Semarang tanggal 17 Januari lalu, seorang doktor ekonomi menanyakan pada saya ”mengapa bapak menggunakan istilah ekonomi rakyat, tidak demokrasi ekonomi, misalnya seperti dalam era Orde Baru?”
Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya untuk tujuan politik yang ”populis”, yaitu untuk ”memenangkan pemilu”. Saya sungguh tidak percaya atau sulit untuk percaya bahwa mereka itu, para cerdik-pandai, belum pernah mendengar atau membaca istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. Yang benar adalah bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, dan mengerti bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa merasa ”jijik” terhadap istilah ekonomi rakyat, maka semua orang ”yang tidak terlalu berkuasa” merasa perlu pula untuk ”merasa asing” dengan istilah itu. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.
Demikian dalam seminar ini kami tidak lagi akan menggunakan istilah ekonomi kerakyatan tetapi ekonomi rakyat, suatu istilah baku yang sudah dimengerti siapapun, tentunya mereka yang mau mengerti. Di Fakultas-fakultas Pertanian dikenal istilah smallholder, terjemahan dari perkebunan rakyat, disamping istilah-istilah pertanian rakyat, perikanan rakyat, pelayaran rakyat, industri rakyat, dan tentu saja perumahan rakyat. Sayang saya tidak secara tegas menjawab pertanyaan konglomerat yang disebutkan diatas pada waktu berkata, ”Pak saya kan rakyat juga?” Seharusnya waktu itu saya menjawab ”Ya, tapi, mengapa Anda tidak tinggal di perumahan rakyat, bersama rakyat-rakyat yang lain”?
Mudah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen. Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ”populis” yang dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam Pemilu. Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.
Patut diingat dan dicatat terus menerus bahwa kegiatan dalam seminar kita ini, baik pikiran-pikiran yang sudah matang maupun yang masih pada tahap awal selama 6 bulan mendatang adalah benar-benar kegiatan seminar, yang seluruh pesertanya dapat dan bahkan perlu menyumbang pendapat/pikiran, sehingga pada akhir seminar pada bulan Juli nanti, konsep ekonomi rakyat benar-benar sudah menjadi konsep yang matang dan mantap.
Selanjutnya Makalah disampaikan pada Pertemuan I Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 22 Januari 2002
Penjabaran Sistem Ekonomi Panca Sila, oleh Prof.Dr. Mubyarto :
Sistem Ekonomi Pancasila mencakup kesepakatan ”aturan main etik” sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;
3. Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi Ekonomi; dan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 194).
Demikian ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi.
________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar